Kuliah di Luar Negeri Tidak Harus Pintar Bahasa Inggris
Dunia akademik senantiasa penuh dengan mitos-mitos. Banyak yang menganggap bahwa untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, maka kemampuan bahasa Inggris adalah yang paling utama dan segala-galanya.
Tapi benarkah bahasa Inggris adalah segala-galanya?
Nah, berikut ini, beberapa bukti bahwa Bahasa Inggris bukan segala galanya dalam dunia pendidikan :
1.Rhenald Kasali
Rhenald Kasali, yang mendapatkan master dan PhD di Amerika Serikat, berterus-terang kalau dirinya tak bisa bahasa Inggris saat lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Ia sempat memaksa diri untuk belajar bahasa Inggris di tanah air selama beberapa bulan. Ternyata, ia masih saja kesulitan berbahasa. Akhirnya ia nekad untuk berangkat ke Amerika dan mencari program belajar bahasa selama tiga bulan.
2. Yohannes Surya
Lain lagi dengan Yohannes Surya. Pakar fisika, yang sukses mengorbitkan siswa-siswa cerdas Indonesia hingga meraih 75 medali emas olimpiade fisika ini, hanya memiliki Toefl 415 saat mengajukan beasiswa ke Amerika Serikat. Memang, ia telah mendapatkan rekomendasi dari seorang professor fisika yang pernah ke Indonesia, tapi dirinya tak bisa ngomong dalam bahasa Inggris. Masalah paling besar muncul karena ia diwajibkan untuk mengajar mahasiswa di program sarjana di kampus Amerika.
College of William and Mary
Tantangan itu lalu dihadapinya. Ia lalu bergerilya mencari beasiswa yang tidak mensyaratkan nilai Toefl. Ia pun juga mencari kampus yang tidak terlalu peduli dengan nilai Toefl. Hingga akhirnya ia berhasil diterima di College of William and Mary, Virginia, yang program fisikanya masuk urutan lima besar di Amerika. Akhirnya masuklah Yohannes Surya, hingga akhirnya berhasil lulus dengan peringkat summa cumlaude atau IPK 4.00, sebuah prestasi yang amat hebat bagi seseorang yang awalnya tak bisa bahasa Inggris.
Kisah keduanya adalah kisah yang menarik untuk ditelaah. Mungkin kita sering bertemu banyak orang hebat dan cerdas, namun sama sekali tak ada keinginan untuk kuliah di luar negeri. Padahal, dengan kecerdasan seperti itu, ia bisa bersinar di negeri orang. Saat ditanya, maka jawabannya selalu pada kemampuan bahasa Inggris.
Ternyata, banyak yang tidak mau menjajal kemampuan untuk ikut seleksi beasiswa karena semata-mata minder dengan kemampuan bahasa Inggris.
Pertanyaannya, apakah bahasa Inggris adalah faktor paling utama untuk lulus beasiswa? Lantas, ketika bahasa Inggris kita pas-pasan, apakah kita tidak punya kesempatan untuk belajar di satu kampus bergengsi di luar negeri?
Logikanya, meskipun anda jago ngomong bahasa Inggris, tapi jika anda tak tahu hendak mengomongkan apa, maka itu sama saja dengan nol. Sementara di saat bersamaan, ada yang tak lancar bahasa Inggris, tapi saat itu mencoba menyampaikan sesuatu gagasan yang substansial dan bernas, yang bersumber dari pengalaman serta refleksi yang kuat, maka pastilah sosok ini yang mendapatkan apresiasi.
Artinya, bahasa Inggris hanyalah alat untuk menyampaikan ide, sesuatu yang amat penting dan lahir dari kontemplasi dan interpretasi atas kenyataan. Bahasa hanyalah jalan tol agar kendaraan gagasan bisa meluncur di lalu-lintas ide. Sebagai alat, bahasa bukanlah segala-galanya.
Yang paling penting adalah gagasan serta keberanian untuk menyampaikannya, yang meskipun dalam kondisi yang terbata-bata, namun tetap tidak kehilangan substansinya.