Dosen UI Ditolak Jadi Guru Besar, Kemendikbud Ristek Dituding Lakukan Praktik Kartel Gelar Profesor
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) kini tengah menjadi sorotan setelah berseteru dengan dosen Universitas Indonesia (UI) Departemen Matematika Fakultas MIPA, Sri Mardiyati, mengenai penolakan penganugerahan gelar profesor/guru besar dan tudingan kartel gelar profesor.
IDWS, Rabu, 26 Januari 2022 - Sri Mardiyati melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, mengungkapkan berbagai hal di balik kegagalannya meraih gelar profesor padahal paper buatannya telah terbit di berbagai jurnal internasional dan sudah lolos pengkajian dari Amerikat Serikat hingga Jepang.
Sedangkan salah satu syarat utama seseorang bisa lolos menjadi guru besar menurut versi Kemendikbud adalah calon profesor sudah sudah pernah menulis di jurnal internasional — syarat yang sudah dipenuhi oleh Sri Mardiyati.
"Paper Sri Mardiyati itu telah diperiksa dan dianggap layak oleh 2 orang guru besar matematika ITB, yaitu Prof Dr Irawati MS dan Prof Dr Edy Tri Baskoro, MSc. Selain itu, paper Sri Mardiyati kan sudah diperiksa oleh editor dari jurnal yang semuanya guru besar matematika dari Universitas di India, Turki, Brasil, China, Jepang dan USA. Penerbit paper ini menerbitkan jurnal di bidang Matematika sebanyak 17 jurnal," kata Maqdir Ismail kepada detikcom, Rabu (26/1/2022).
Maka dari itu Sri Mardiyati kemudian menggugat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan menuding adanya kartel gelar profesor di Kemendikbud Ristek. Sidang tersebut digelar pada Senin (24/1/2022).
Kuasa Hukum dosen UI Sri Mardiyati, Maqdir Ismail (law-justice.com/RMOL)
Kemendikbud berdalih pengajuan Sri Mardiyati terlambat
Kemendikbud menuding Sri Mardiyati terlambat mengajukan permohonan. Kemendikbud menyatakan berkas baru diterima beberapa pekan jelang pensiun. Maka, saat di-review dan dinilai, Sri sudah pensiun.
"Pemohon telah mengajukan prosesnya sejak 2016, tapi baru masuk kepada kementerian, 2019, ya. Nah, sehingga sudah memasuki masa, beberapa bulan masa pensiun Pemohon," kata Irjen Kemendikbud Chatarina Girsang dikutip dari detikcom.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Risetdikti Kemdikbud), Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC, Ph.D., IPU, Asean Eng, dalam sidang di MK yang disiarkan di kanal YouTube MK, Senin (24/1/2022), menyatakan pemohon agar mengajukan permohonan satu tahun sebelum pensiun. Di mana usia pensiun dosen adalah 65 tahun. Jadi pada saat usia 64 tahun, diharapkan berkas sudah selesai di meja Kemendikbud. Sedangkan pengajuan Sri Mardiyati sudah terlambat karena diajukan usai ia pensiun.
"Kenapa 1 tahun? Itu dengan pertimbangan bahwa yang bersangkutan masih akan berkesempatan untuk memperbaiki seandainya ada hal yang kurang. Biasanya untuk publikasi internasional di jurnal yang baik, itu paling kurang 6 bulan dan rata- rata sekitar 10 bulan ke atas. Mestinya kalau ada... karena batas bawah untuk penilaian angka kredit itu 55 hari, sehingga kalau ada kekurangan sedikit itu harapan kami bisa dipenuhi selama masa tenggang tersebut," terang Prof Nizam di sidang MK hari Senin (24/1) seperti dikutip dari detikcom.
Sebab, kalau sudah masuk batas usia pensiun, kata Prof Nizam, ini dari PAN-RB sudah otomatis dia akan pensiun itu yang tidak bisa kita hindari.
"Oleh karenanya, batas usia ini sebenarnya sudah sangat minim untuk orang dosen mengajukan usulan untuk guru besar," tegasnya.
Merespon alasan pihak Kemendikbud tersebut, Maqdir Ismail menyebut tidak ada ketentuan seperti itu.
"Tidak ada satu ketentuan yang menentukan bahwa pengajuan guru besar dibatasi waktu satu tahun seperti diterangkan oleh Prof Nizam. Keterangan ini adalah sekadar dalih supaya tidak dianggap salah. Buktinya ada juga guru besar yang disetujui hanya dalam waktu 12 hari," kata Maqdir Ismail kepada detikcom, Rabu (26/1/2022).
Menurut Maqdir, keterangan Prof Nizam adalah post factum. karena penolakan permohonan Sri Mardiyati terjadi pada Oktober 2019 ketika Prof Nizam belum menjabat sebagai Dirjen Risetdikti Kemdikbud.
Artinya, beliau memperoleh 'cerita dari orang lain' yang menganggap dirinya paling benar," beber Maqdir Ismail.
Maqdir Ismail juga mengungkapkan Kemendikbud pernah meluluskan seorang profesor dalam waktu 12 hari sehingga alasan tidak meluluskan Sri karena waktunya mepet, tidak masuk logika.
"Seharusnya bela diri dengan cara tidak patut dan cenderung mengada-ada ini dihentikan oleh mereka. Mengaku saja sebagai manusia kami salah, kami khilaf, itu lebih terhormat daripada menerangkan hal-hal yang tidak benar dan mengada-ada," bebernya.
Tudingan penolakan mengada-ngada
Pihak UI sebagai pengusul permohonan gelar profesor bagi Sri Mardiyati sesuai dengan POPAK 2016, tidak pernah dipanggil sebelum dilakukan penolakan, sehingga tidak ada kesempatan bagi UI untuk mengajukan banding.
"Kalau Dirjendikti mau jujur, mestinya keberatan kami terhadap Keputusan Panitia Pusat tanggal 22 Oktober 2019, dengan Surat tanggal 8 November2019, ditanggapi secara layak dan sepatutnya, dengan cara memanggil pihak Universitas Indonesia untuk audiensi," tutur Maqdir Ismail.
Faktanya, Maqdir Ismail melanjutkan, sepanjang dokumen yang diberikan, Sri baru diundang oleh Direktur Sumber Daya Manusia Universitas Indonesia pada 4 Maret 2021.
"Artinya, sesudah 4 bulan dilakukan penolakan yang dilakukan dengan cara mengada-ada," tutur Maqdir menegaskan.
Maqdir menyatakan alasan yang digunakan oleh Prof Yanuarsyah Haroen, Prof Dr Sayaiful Anwar MSi, dan Prof Dr Sutikno untuk menolak kenaikan pangkat itu mengada-ada.
"Dan itu dilakukan secara pongah, tanpa dasar ilmiah dengan menggunakan argumen 'pokoknya harus ditolak' dan dikatakan bahwa 'penulisan tidak baik karena penamaan persamaan tidak sistematis dan terlalu basic menyatakan teori genetic algorithm," cetus Maqdir Ismail keras.
Pihak UI pertanyakan wewenang Kemendikbud
Di sidang MK hari Senin (24/1), UI kemudian membeberkan saat ini terjadi penurunan profesor yang diluluskan Kemendikbud. Pada 2019, sebanyak 43 orang, 2020 sebanyak 33 orang, dan 2021 sebanyak 22 orang.
"Jumlah pertambahan guru besar Universitas Indonesia dari tahun ke tahun tidak menunjukkan pertambahan yang signifikan, bahkan mengalami penurunan tajam di tahun 2019. Bahkan di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) di tahun 2019, 2020, dan 2021 hanya memperoleh penambahan 1 guru besar setiap tahunnya. Dengan jumlah total guru besar dari 2010 sampai dengan 2011 sebanyak 11 orang. Jumlah ini jika kemudian disebar ke departemen, akan terjadi banyak departemen tidak memiliki guru besar, sebagaimana hal nya dengan Departemen Matematika di FMIPA," demikian keterangan tertulis UI di MK yang didapat detikcom.
UI juga menilai Kemendikbud tidak lagi berhak menjadi penentu akhir seseorang menjadi Profesor. Berdasarkan Statuta UI, penentu akhir adalah Kampus.
"Menyatakan ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU tentang Guru dan Dosen tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa seleksi, penetapan, dan pengangkatan jenjang jabatan akademik, termasuk Guru Besar, merupakan kewenangan sepenuhnya dari Rektor sebagai pimpinan satuan pendidikan tinggi, tanpa ada campur tangan Menteri. Menyatakan bahwa khusus untuk Universitas Indonesia "pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan", harus dimaknai sesuai dengan PP No 75 Tahun 2021," beber UI.
Di sisi lain, Prof Nizam menolak bahwa pihaknya sengaja mempersulit dosen meraih gelar guru besar. Menurutnya, ada kampus yang bisa mencetak 100 profesor dalam satu tahun.
"Bahkan di perguruan tinggi kita, itu ada yang dalam 1 tahun bisa sampai 100 guru besar baru. Ini sama sekali tidak ada keinginan bagi kami untuk menghambat proses kenaikan guru besar selama para dosen ini produktif dengan karya-karya yang membanggakan kita semua," beber Prof Nizam tanpa menyebut kampus yang dimaksud.
"Selama 2 tahun ini untuk UI saja itu ada sekitar 66 guru besar baru tahun 2020 dan 2021," ungkapnya.
(Stefanus/IDWS)
Gambar fitur: YouTube Mahkamah Konstitusi RI