Memahami Open-mindedness, Mulai dari Makna, Manfaat, Hingga Bahaya dari Berpikiran Terbuka
Kamu mungkin seringkali mendengar istilah open-minded (berpikiran terbuka) atau pernah diajak untuk menjadi orang yang lebih open-minded, atau bahkan merasa dirimu telah cukup open-minded. Lantas, pahamkah kamu akan seluk beluk open-mindedness (keterbukaan pikiran)?
IDWS, Selasa, 14 September 2021 - Open-mindedness atau keterbukaan pikiran pada umumnya dianggap sebagai kualitas positif pada kehidupan bermasyarakat di era modern yang semakin dinamis, apalagi di negara yang dipenuhi beragam suku, budaya, kepercayaan, dan agama seperti di Indonesia.
Keterbukaan pikiran diperlukan agar seseorang dapat berpikir secara kritis dan rasional, sehingga bisa memahami akar dari suatu permasalahan atau menjembatani perbedaan lewat berbagai cara seperti kompromi hingga negosiasi — alih-alih langsung menggunakan metode esktrim seperti invasi.
Pada dasarnya, mampu untuk keluar dari zona nyaman dan mempertimbangkan ide-ide dari orang lain serta sudut pandang dari berbagai pihak sangat penting di dunia yang semakin terpolarisasi seperti sekarang ini.
Kekeliruan memahami keterbukaan pikiran
Definisi keterbukaan pikiran sendiri bisa berbeda-beda tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya namun pada umumnya memiliki makna yang selaras. Sayangnya masih banyak orang kurang paham akan inti dari keterbukaan pikiran, dan seringkali mengartikannya sebagai "persetujuan akan prinsip atau sudut pandang minoritas", atau bahkan rancu dengan istilah out of the box.
Contoh sederhananya adalah ketika seseorang yang mengaku berpikiran terbuka mendukung orang-orang yang memutuskan untuk tidak memiliki anak (childless) karena merasa itu adalah minoritas, namun ia tidak turut memahami sudut pandang dari orang-orang yang ingin punya anak sehingga cenderung merendahkan pandangan memiliki anak. Hal ini termasuk ke dalam bias kognitif, di mana seseorang yang mengalami bias kognitif cenderung hanya mau mengakui pendapat atau bukti yang mendukung hal yang ia percaya, dan menolak pendapat atau bukti yang menolak kepercayaan tersebut.
Apa makna dan inti dari keterbukaan pikiran?
Pada dasarnya, ada beberapa aspek dari keterbukaan pikiran dilihat dari berbagai sudut pandang:
- Dalam kehidupan sehari-hari, keterbukaan pikiran biasa digunakan sebagai sinonim dari perilaku toleran atau tidak prejudice terhadap pihak lain.
- Dari sudut pandang psikologi, istilah tersebut biasa digunakan untuk mendeskripsikan seberapa jauh seseorang mau mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda dari sudut pandangnya atau mencoba pengalaman baru.
- Terkadang, keaktifan seseorang dalam mempertanyakan kepercayaan, sudut pandang, atau prinsip yang ia percayai demi berkembang menjadi individu yang lebih baik juga disebut sebagai keterbukaan pikiran.
- Percaya bahwa orang lain berhak mengekspresikan kepercayaan, pendapat, argumen, atau prinsip mereka sekalipun kamu tidak setuju dengan hal-hal itu juga disebut sebagai keterbukaan pikiran.
Harap dingat, sekalipun seseorang memiliki pemikiran yang terbuka, tetap akan ada beberapa topik di mana orang tersebut akan kesulitan untuk menerima sudut pandang atau pendapat yang berlawanan. Di sisi lain, taat beragama atau berpegang teguh pada prinsip bukan berarti seseorang tidak bisa berpikiran terbuka. Pada dasarnya, keterbukaan pikiran adalah kemampuan untuk mempertimbangkan dan memahami sudut pandang pihak lain agar bisa berempati kepada mereka, sekalipun belum tentu kamu setuju akan sudut pandang tersebut.
Keterbukaan pikiran juga ada batasnya. Bukan berarti kamu harus bersimpati ke setiap ideologi atau sudut pandang baru yang kamu temui. Aspek intinya adalah usaha untuk memahami faktor-faktor apa yang membuat seseorang memercayai suatu sudut pandang atau ideologi tertentu dengan tujuan sebisa mungkin menghindari konflik yang tidak perlu.
Risiko/bahaya dari keterbukaan pikiran
Akan tetapi keterbukaan pikiran bukannya tanpa kelemahan. Keterbukaan pikiran berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan mental ketika berjumpa dengan ide atau sudut pandang yang bertentangan dengan ideologi, tradisi, prinsip, sudut pandang, atau kepercayaan seseorang. Hal ini seringkali berujung pada disonansi kognitif — keresahan mental yang dirasakan ketika seseorang kebingungan menentukan sikap di antara dua atau lebih kepercayaan, moral, atau prinsip yang sama-sama ia setujui (baik secara keseluruhan atau sebagian) namun saling berlawanan alias kontradiktif satu sama lain.
Disonansi kognitif yang terjadi pada saat seseorang tengah menjalani proses menuju kedewasaan bisa berakibat buruk ke depannya, mengakibatkan orang tersebut rawan mengalami depresi, bingung menemukan jati diri, merasa terkucil, hingga yang paling parah seperti misalnya memiliki sudut pandang yang terlalu ekstrim.
Kekurang lainnya adalah semakin seseorang berpikiran terbuka, maka ia akan semakin menyadari betapa sulitnya menghindari konflik karena keanekaragaman sudut pandang, kepercayaan, kepribadian, hingga tradisi maupun prinsip yang eksis, sehingga berujung pada pandangan bahwa dunia adalah tempat yang kejam.
Keterbukaan pikiran menuntun seseorang menyadari bahwa definisi ya dan tidak, benar dan salah, hitam dan putih berbeda-beda bagi setiap pihak atau indivdu. Hal ini bisa sangat memberatkan mental bagi mereka yang tidak siap akan keterbukaan pikiran, terutama bagi mereka yang dibesarkan dengan suatu tradisi, sudut pandang, prinsip, kepercayaan, atau ideologi tertentu sehingga sudah terlanjur mengakar dengan kuat.
Maka dari itu, proses menuju keterbukaan pikiran harus dijalani secara selangkah demi selangkah, trial and error. Tidak apa jika kamu merasa telah melakukan kesalahan karena enggan mengakui argumen atau prinsip orang lain. Yang terpenting adalah mengakui bahwa kamu bisa melakukan kesalahan dan melakukan refleksi diri. Mengkaji ulang sudut pandang, kepercayaan, atau prinsip yang selama ini kamu pegang, lalu mengganti yang lama dan sudah "usang" dengan yang baru agar bisa tumbuh menjadi individu yang lebih baik. Proses ini bisa berlangsung sampai seumur hidup, sehingga tidak perlu khawatir kamu merasa terlambat.
Semoga membantu!
(stefanus/IDWS)
Gambar fitur: medium.com