Mengenal Sukeban, Gerakan Siswi SMA di Jepang yang Menolak Dijadikan Obyek Seksual Semata
IDWS, Senin, 30 September 2019 - Kurang lebih 50 tahun lalu, geng-geng siswi SMA Jepang yang disebut "sukeban" sukses menjungkirbalikkan pandangan masyarakat terhadap imej siswi-siswi sekolah.
Subkultur sukeban (yang kurang lebih memiliki arti "boss wanita") muncul pada akhir 1960an dan terus bertahan hingga era 70an di Jepang.
Ciri khas sukeban, yakni rok panjang. (YouTube/Deka Deka)
Pada awalnya, istilah sukeban ditujukan untuk menyebut para pemimpin geng wanita, namun lambat laun istilah itu digunakan untuk menyebut gerakan masif para wanita yang sanggup menyaingi dominasi para pria pada era di mana yakuza berada pada masa keemasannya.
Fenomena sukeban bermula dari situasi di Jepang pasca Perang Dunia II di mana mayoritas rakyat Jepang mulai berani untuk mengumandangkan opininya. Kemudian muncul yanki wanita (subkultur generasi muda pemberontak) yang terlahir karena kelompok-kelompok yakuza menolak menerima wanita sebagai anggotanya. Yanki ini lah, cikal bakal dari sukeban.
Dikenal seringkali terlibat dalam perkelahian antar geng serta kerap melakukan kejahatan-kejahatan sepele, anggota-anggota sukeban cenderung mengenakan silet tajam dan rantai yang disembunyikan di balik rok panjang mereka. Karena acapkali terlibat dalam kegiatan seperti mencuri, mengambil barang di toko tanpa membayar, hingga tindak kekerasan, masyarakat Jepang memandang sukeban sebagai ancaman bagi masyarakat.
(YouTube/Phoe)
Sukeban juga menolak seragam sekolah sailor (dengan ciri khas rok pendek, kini populer di Jepang) dengan mengenakan rok panjang, sepatu sneaker, dan syal atau dasi. Beberapa di antaranya sengaja merobek rok panjang mereka agar lebih mudah bergerak saat berkelahi atau mencuri.
Inti dari gerakan sukeban sendiri adalah sebuah bentuk protes akan penggambaran remaja wanita sebagai obyek seksual, sedangkan senjata yang mereka bawa mereka sebut sebagai bentuk perlindungan diri dari pria, menunjukkan bahwa mereka bukanlah obyek pemuas kebutuhan pria semata.
Pada masa puncaknya, siswi-siswi sekolah di Jepang yang menganut paham sukeban mencapai jumlah puluhan ribu. Bahkan salah satu geng khusus wanita terkenal bernama "Kanto Women Delinquent Alliance" (Aliansi wanita nakal Kanto) disebut-sebut memiliki anggota mencapai 20.000 orang.
Kejatuhan sukeban
Ironisnya, gerakan sukeban terpukul mundur akibat booming film-film yang menjual eksploitasi seksual atau dikenal sebagai "pink film" .
Serial film "Pinky Violence" yang dirilis oleh Toei pada awal 70an disusul dengan film-film lain seperti "Norifumi Suzuki's Girl Boss (Sukeban) dan serial "Terrifying Girls' High School" membuat gerakan sukeban yang ditujukan untuk melawan pandangan wanita sebagai obyek seksual, malah kini berubah menjadi obyek seksual itu sendiri karena kepopuleran film-film tersebut.
Aktris seperti Reiko Ike dan Miki Sugimoto yang kerap kali membintangi film-film bertema seksualisasi sukeban langsung meroket karirnya dan jadi bintang.
Pada akhirnya, para anggota sukeban yang asli mulai bertambah usianya, dan pada era 80an mulai berkeluarga. Otomatis gerakan sukeban pun lama-lama lenyap.
Subkultur Gyaru seperti ganguro dan kogyaru kemudian mengambil tonggak popularitas nomor satu dari sukeban, mengganti imej gadis pemberontak nakal dengan imej gadis bermake-up tebal dan rok mini.
Pada era modern ini, peninggalan sukeban yang masih tersisa adalah geng-geng motor wanita yang dikenal sebagai bosozoku, karena masih mempertahankan pandangan menolak menjadi wanita yang hanya dianggap sebagai obyek seksual bagi pria.
(Stefanus/IDWS)
Sumber: NextShark