Kenapa Rakyat Jepang Taat Peraturan Lalu Lintas?
Bagi para pembaca, khususnya yang berada di kota-kota yang penuh dengan kemacetan seperti Jakarta, tentu sudah tak asing lagi dengan namanya pelanggaran lalu lintas, baik sepele atau signifikan hingga mengakibatkan kecelakaan.
Jika kita mau menengok negeri tetangga barang sebentar, ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari mereka tanpa membunuh identitas diri sebagai warga negara Indonesia. Budaya tertib dalam hal umum seperti mengantri atau menyeberang jalan adalah hal yang terkesan mudah dan sepele untuk dilaksanakan. Banyak orang yang meremehkan. Akan tetapi ketika tindakan meremehkan ini dilakukan oleh beberapa orang, atau bahkan massal, apa yang terjadi?
Sejarah mencatat tidak sedikit nyawa telah melayang dalam kecelakan lalu lintas dan budaya antri yang buruk mengakibatkan perselisihan serta bahkan menimbulkan kekacauan yang meresahkan pada skala yang lebih besar. Jika dilihat dari sisi yang spesifik, terlihat betapa masyarakat kita begitu meremehkan hukum, baik dari tingkat sepele hingga kejahatan tingkat tinggi seperti korupsi dan narkoba. Padahal pepatah mengatakan, “jika tak bisa melakukan hal-hal kecil, bagaimana mau melakukan hal-hal besar?”
Di sini kita akan membahas budaya tertib menyeberang jalan. Suatu hal kecil dan fundamental, namun amat sangat sulit bagi banyak orang untuk melaksanakannya dengan tertib. Untuk masalah ini, kita kalah jauh dari Jepang.
Di negeri seperti Indonesia dan Tiongkok, terdapat peraturan tak tertulis yakni “setiap orang bertindak untuk dirinya sendiri,” baik pejalan kaki maupun pengguna kendaraan. Tak perlu kita bahas para pengguna kendaraan bermotor. Para pejalan kaki saja masih banyak yang tidak tahu atau bahkan tahu tapi tidak peduli, akan bagaimana tata tertib serta kedisiplinan dalam menyeberangi jalan.
Akan tetapi di Jepang, lalu lintas terlihat sangat terkendali dan nyaman. Itu semua bukan hanya karena pihak berwajib yang turun tangan mengatur lalu lintas, tapi kesadaran diri para pengguna jalanlah hal yang menjadi penentu. Meskipun tidak terlihat kendaraan lewat, para pejalan kaki di Jepang masih tetap menunggu di pinggir jalan, dan menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki menyala.
Mengapa mereka masih menunggu meski tidak ada bahaya yang mengancam? Jika kamu pernah tinggal atau bekerja di Jepang, tidak hanya mampir dua tiga hari, kamu akan sering melihat pemandangan di mana anak-anak kecil di Jepang dijaga sangat ketat oleh orang-orang dewasa saat menyeberangi jalan, entah polantas setempat, guru, ataupun orang tua mereka. Adalah suatu hal yang cukup menggemaskan melihat anak-anak kecil tersebut mendengarkan nasehat orang dewasa untuk mengangkat tangan mereka ketika hendak menyebrang semata-mata agar para pengguna kendaraan dapat lebih mudah melihat mereka menyeberangi jalan.
Meski begitu, prinsip yang sama, yakni menanamkan pendidikan untuk tertib berlalu lintas, juga diterapkan di negara kita namun lambat laun ketika tumbuh besar kita mulai melupakan ajaran-ajaran tersebut. Ketika tumbuh besar kita sudah tidak lagi peduli pada ketertiban berlalu lintas dan asal serobot sepanjang ada celah. Kenapa?
Bukan peraturan lalu lintas kuncinya, namun bagaimana kita mengintrepertasi serta menyikapi hukum dan kesadaran akan adanya peraturan-peraturan dalam masyarakat, baik tertulis maupun tidak tertulis. Bagi rakyat Jepang, hukum atau peraturan menjadi panduan masyarakat dan masyarakat pula lah yang menegakkan hukum dan peraturan yang ada. Bahkan masyarakat di sana lebih ketat dalam menegakkan hukum daripada pemerintah. Alhasil tak heran pernah ada kasus di mana seorang Perdana Menteri yang dulu saat maju sebagai calon Perdana Menteri menang mutlak tanpa lawan, rela mundur dari jabatannya hanya karena ia dan rombongannya lupa membayar makananan yang telah mereka makan di sebuah rumah makan.
Zaman sekarang, orang-orang Jepang berpendapat bahwa warga negara yang tidak taat akan peraturan, meski terkesan sepele sekalipun, akan dipandang seperti seorang kriminal. Meski hal itu terkesan berlebihan, namun hal itu terbukti dapat menjaga ketaatan pada hukum di Jepang, paling tidak untuk sebagian besar rakyatnya. Tentu saya sebagai penulis tidak menggeneralisasikan bangsa kita, Indonesia, sebagai bangsa yang tidak taat peraturan. Hanya saja memang tak terbantahkan lagi bukan? setidaknya, ya, mayoritas meremehkan hukum dan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis.
Dalam hal menyeberang jalan, ada yang patut kita simak dari masyarakat di prefektur Iwate, Jepang. Di jepang, menundukkan badang atau kepala adalah hal lumrah untuk menunjukkan respek, atau apresiasi. Akan tetapi dengan begitu banyak budaya menunduk di Jepang, masyarakat iwate, prefektur yang terletak di arah tenggara regional Tohoku, masih mengejutkan banyak orang termasuk dari luar negeri sekalipun. Sebab di sana, saat para pejalan kaki menyeberangi jalan, baik tua maupun muda, akan menunduk kepada kendaraan apapun yang berhenti agar mereka bisa menyeberangi jalan. Tidak ada hukum yang menuntut masyarakat di sana untuk melakukannya, namun ajaran sejak kecil tersebut terus melekat pada masyarakat prefektur Iwate hingga dewasa.
Hal yang terkesan sepele ini, meski tidak bisa dibilang sebagai penyebab utama, telah meningkatkan kesadaran setiap individu di prefektur Iwate dalam menggunakan jalan raya. Pada studi yang dilakukan pada tahun 2013 silam, prefektur Iwate terbukti memiliki tingkat kecelakaan lalu lintas yang sangat rendah, yakni peringkat 45 dari total 47 prefektur di Jepang dengan rasio kecelakaan per 100,000 orang penduduk. Dan, menyisihkan beberapa detik untuk menunduk sebagai bentuk terima kasih atau apresiasi kita kepada para pengemudi kendaraan terlihat sebagai suatu cara yang lebih bersahabat, hangat, dan efektif untuk mempromosikan keselamatan dalam berkendara dibandingkan dengan cara-cara konvensional lainnya.