Film 'Plan 75' Guncang Festival Film Cannes, Gambarkan Masa Depan yang Kejam Bagi Lansia di Jepang
Seorang pembuat film asal Jepang mengguncang Festival Film Cannes 2022 lewat film distopian kreasinya yang mengisahkan bagaimana para lansia di Negeri Sakura setuju untuk dieuthanasia demi membantu menyelesaikan masalah populasi penduduk yang menua dengan cepat.
IDWS, Senin, 23 Mei 2022 - Film berjudul "Plan 75" karya sutradara dan penulis Chie Hayakawa ini dibuat berdasarkan masalah nyata yang tengah dihadapi Jepang saat ini dan cukup membuat syok para penonton yang hadir di Festival Film Cannes yang digelar pada 17-28 Mei 2022.
Jepang merupakan negara masyarakat industri dengan penuaan populasi tercepat di dunia saat ini, sebuah tren yang menyebabkan berbagai masalah ekonomi maupun politik seiring dengan menurunnya jumlah orang-orang muda yang harus menanggung hidup para lansia yang begitu banyka.
Hampir 30 persen dari total populasi Jepang adalah lansia berusia di atas 65 tahun dengan mayoritas adalah wanita. Rasio ini diperkirakan akan terus meningkat dalam beberapa dekade ke depan.
Dalam film "Plan 75', setiap penduduk Jepang berusia di atas 75 tahun didorong untuk menandatangani perjanjian dengan pemerintah di mana para lansia itu akan menerima uang dalam jumlah besar sebagai imbalan jika setuju untuk dieuthanasia. nantinya para lansia yang setuju dieuthanasia akan dikremasi secara kolektif.
Melansir laman Wikipedia Indonesia, pengertian euthanasia sendiri adalah "praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan."
Ilustrasi euthanasia. (alodokter.com)
"Di muka, Plan 75 dari pemerintah Jepang (di film) terlihat penuh niat baik, pragmatisme, dan bersahabat. Namun kebenarannya adalah rencana itu sangat kejam dan memalukan," terang Sutradara Chie Hayakawa kepada AFP, melansir laporan Japan Today.
"Masalah popuasi [Jepang] yang menua ini bukanlah masalah baru. Saya selalu mendengar orang-orang mendiskusikannya. Ketika saya muda, hidup panjang dianggap sebagai anugerah, di mana orang-orang respek terhadap mereka yang lebih tua. Hal itu tidak lagi berlaku," tambah sutradara berusia 45 tahun itu.
"Plan 75" merupakan film dengan durasi penuh pertama karya Chie Hayakawa, di mana film itu memiliki ciri khas pergerakan kamera yang minimalis.
"Saya ingin gambar dari film itu terlihat estetika dan cantik, sekaligus dingin dan kejam, sama seperti rencana itu (Plan 75) sendiri," tutur sang sutradara.
Chie Hayakawa, sutradara dari film "Plan 75". (Japan Today/AFP)
Chie Hayakawa mengaku menginterview orang-orang lansia di Jepang sebagai bagian dari penelitiannya untuk membuat film "Plan 75", di mana ia menemukan bahwa banyak lansia yang ia interview merasa ada keuntungan dalam membeli keamanan finansial dengan bayaran nyawa mereka.
"Hal itu (euthanasia lansia) akan meringankan stress akan kebingungan bagaimana mereka akan bertahan hidup setelah sebatang kara. Memilih momen dan metode untuk mati bisa jadi sangat menjamin," tutur Chie Hayakawa.
Ketika ditanya bagaimana jika Plan 75 dalam filmnya diterapkan di dunia nyata pada saat ini, Chie Hayawakan menjawab bahwa banyak generasi muda yang akan setuju dan mendukung rencana itu karena mayoritas dari mereka juga kebingungan bagaimana kehidupan mereka di hari tua, apakah kebutuhan pokok mereka dapat terpenuhi nantinya? Apakah mereka dapat bertahan hidup sendirian?
"Mereka (generasi muda Jepang) frustasi dan marah karena mereka bekerja keras untuk merawat lansia di saat mereka merasa bahwa ketika tiba giliran mereka, bisa jadi tidak ada siapapun yang akan merawat mereka," jelas Hayakawa.
(Stefanus/IDWS)
Sumber: Japan Today