Tayang Perdana di AS, 'Joker' Picu Kontroversi Hingga Membuat Aparat Keamanan Waspada
IDWS, Jumat, 4 Oktober 2019 - Film "Joker" bisa jadi merupakan film yang paling menyita perhatian pada tahun ini, melebihi film-film seperti Avengers: Endgame atau Spider-Man: Far From Home. Hal ini tak lain karena film yang dibintangi oleh Joaquin Phoenix tersebut membuat para aparat dan penegak hukum waspada akan potensi bahaya penembakan massal saat debut pertama film tersebut di Amerika Serikat.
Dalam sepekan terakhir, berbagai media di AS melaporkan pihak kepolisian telah merilis peringatan kepada para personelnya akan potensi penembakan massal di hari Jumat (4/10). Masih membekas dalam benak khalayak ramai, tragedi penembakan massal tujuh tahun lalu di mana seorang pria bernama James Eagan Holmes menembaki para penonton di bioskop Century 16 dalam penayangan tengah malam film "The Dark Knight Rises", menewaskan 12 orang dan 70 orang luka-luka.
Orang-orang menyalakan lilin di Century 16, tempat terjadinya tragedi penembakan massal saat penayangan The Dark Knight Rises, tujuh tahun lalu. (Getty Images)
Menurut laporan dari dua aparat federal AS, Holems mengecat rambutnya dengan warna merah dan menyebut dirinya "The Joker", meski pihak otoritas menolak memberi konfirmasi hingga saat ini. Namun dengan kembalinya karakter Joker di tahun 2019 ini sebagai film spin-off dari Batman yang menceritakan latar belakang dari villain paling populer itu, wajar saja apabila muncul kekhawatiran terulangnya tragedi penembakan massal.
Keluarga korban dari penembakan massal tersebut meminta kepada bioskop-bioskop di Colorado agar tidak memutar film Joker, yang diamini sejumlah pemilik bioskop di sana. Pihak keluarga korban juga melayangkan surat kepada Warner Brothers — produser di balik pembuatan film Joker — dan meminta agar mereka turut menyumbangkan dana kepada organisasi yang membantu para korban kekerasan senjata.
Selain itu, keluarga korban penembakan massal di Colorado juga mendesak Warner untuk menghentikan konstribusi politik terhadap "para kandidat (politikus) yang memberikan suara untuk menentang reformasi senjata".
Beberapa bioskop di AS dilaporkan juga melarang para penonton mengenakan riasan, topeng, atau kostum saat penayangan perdana film Joker.
Mengenal Arthur Fleck alias Joker
Joker mengikuti kisah Arthur Fleck (Joaquin Phoenix), seorang badut yang bercita-cita menjadi komedian stand-up, serta hidup bergelut melawan kemiskinan bersama ibunya yang sudah tua (Frances Conroy).
Arthur bertubuh kurus kering karena kekurangan nutrisi. Ia bekerja di sebuah agensi badut di kota Gotham yang terlihat seperti New York di akhir 1970an atau awal 1980an. Di kota itulah, Arthur harus berusaha keras menahan rentetan penghinaan dari apa yang kemudian ia sebut sebagai "masyarakat".
Sekelompok pemuda menghajarnya saat ia tengah mencari nafkah dengan membadut di jalanan, bosnya memaksa Arthur membayar papan promosi yang dirampas oleh kawanan pemuda tersebut, hingga para penumpang bus yang menjauhinya ketika ia tertawa histeris akibat frustasi. Arthur juga berimajinasi untuk berhubungan romantis dengan seorang janda (Zazie Beetz) yang merupakan tetangganya.
Arthur Fleck digambarkan sebagai seorang pecundang yang kehilangan seluruh harapannya, dan memilih kegilaan sehingga menjadi Joker. (WARNER BROS. ENTERTAINMENT INC)
Selain itu, ia juga kurang bersosialisasi dengan orang lain, selain ibunya yang renta dan digerogoti demensia. Rasa frustasinya juga semakin bertambah parah setelah pemangkasan anggaran Kota Gotham membuatnya tak bisa berkonsultasi dengan konsultas mental serta memotong aksesnya akan obat-obat psikologis, mendorongnya ke dalam jurang kegilaan.
Meski sutradara Todd Phillips dan Joaquin Phoenix mendeskripsikan bahwa film Joker lebih menitik beratkan pada pentingnya kepedulian akan masalah kesehatan mental, para kritikus film di AS menuduh film itu terlalu mengagungkan kekerasan dan membenarkan perilaku ekstrim.
Richard Lawson dari majalan Vanity Fair menulis bahwa film tersebut "mungkin merupakan propaganda yang tidak bertanggung jawab untuk orang-orang yang memang patologis (patologikal)". Patologikal dalam ilmu psikologi, didefinisikan secara singkat sebagai perilaku yang teramat ekstrim dan menyimpang dari norma atau sangat tidak wajar akibat penyakit mental maupun fisik.
Phillips dan Phoenix membela Joker
Phillips dan Phoenix, tentunya tidak setuju bahwa fllm mereka disebut-sebut mengagungkan kekerasan. Sang sutradar mengaku terkejut film garapannya jadi kontroversi terkait kekerasan.
"Film ini mengangkat soal kurangnya rasa cinta, trauma masa kecil, dan kasih sayang di dunia. Saya pikir orang-orang bisa menangkap pesan itu," ungkap Phillips dalam sebuah wawancara promo film pekan lalu.
Joaquin Phoenix (Kiri) dan Todd Phillips membela film mereka yang memenangkan penghargaan di Festival Venice. (Getty Images)
"Bagi saya, seni memang seharusnya rumit. Jika anda ingin seni yang tidak rumit, anda mungkin cocok belajar kaligrafi," tambahnya.
Dalam wawancara terpisah yang diterbitkan sius berita hiburan The Wrap, Phillips menyalahkan "pihak sayap kiri" atas kontroversi yang beredar mengenai filmnya.
"Yang luar biasa bagi saya dalam wacana tentang film ini adalah, betapa mudahnya sayap kiri bisa terdengar seperti sayap kanan ketika itu sesuai dengan agenda mereka. Ini benar-benar membuka mata saya."
Joaquin Phoenix sebagai pemeran dari karakter yang dipermasalahkan, juga angkat suara.
"Orang-orang suka salah mengartikan lirik dari lagu. Mereka suka salah mengartikan bagian-bagian dalam buku. Jadi saya tidak berpikir bahwa menjadi tanggung jawab pembuat film untuk mengajarkan moralitas penonton atau perbedaan antara benar dan salah," katanya. "Maksud saya, bagi saya, saya pikir itu sudah jelas."
Sang aktor juga mengatakan ia menikmati "ketidaknyamanan" yang disebabkan oleh film tersebut.
"Saya rasa hal yang baik ketika film membuat kita merasa tidak nyaman atau membuat kita berpikir dengan cara berbeda. Saya senang. Itu sebabnya saya ingin membuat film ini, karena itu tidak mudah bagi saya. Saya merasakan beragam perasaan terhadap Joker saat menyiapkan peran tersebut."
Kesimpulan: Joker adalah karya seni, dan bukan penyelamat atau inspirasi bagi mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental
Entah bagaimana film Joker menurut kalian yang sudah menontonnya, penulis sarankan untuk tetap memandang karakter Joker yang diperankan Joaquin Phoenix sebagai karakter fiktif semata. Ia adalah manifestasi dari imajinasi penciptanya — dalam hal ini Todd Phillips dan Phoenix — dalam bentuk karya seni akting dan film.
(WARNER BROS. ENTERTAINMENT INC)
Meski mayoritas "material" yang membentuk karakter maupun film tersebut diambil dari contoh-contoh di dunia nyata, ujung-ujungnya film Joker hanyalah sebuah karya seni serta salah satu tujuannya adalah untuk meraup keuntungan finansial. Menonton film tersebut, atau mengimplementasikan karakter Joker ke dunia nyata TIDAK AKAN memberi jalan keluar bagi masalah kalian, dalam bentuk apapun.
Joker ada tidak untuk menyembuhkan atau menyelematkan kalian dari depresi. Ia tidak eksis untuk menjadi inspirasi maupun alasan melakukan kekerasan bagi kalian, ia eksis lebih untuk menunjukkan arah-arah yang akan dituju bagi mereka yang tidak menerima perhatiian serius akan kesehatan mental mereka.
(Stefanus/IDWS)
Sumber: BBC News Indonesia, Slate, Vulture