Apa itu Pandemic Fatigue dan Bagaimana Cara Mengatasinya
Pandemi COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, termasuk di Indonesia. Adaptasi akan berbagai perubahan yang diakibatkan oleh pandemi ini demi bertahan hidup membuat banyak orang mengalami pandemic fatigue.
IDWS, Selasa, 23 Maret 2021 - Kelelahan dalam menghadapi berbagai perubahan situasi yang disebabkan oleh pandemi atau pandemic fatigue ini mengakibatkan orang-orang yang mengalaminya merasa jenuh mengikuti hal-hal yang dianjurkan untuk menghadapi pandemi, sehingga kepatuhan akan protokol kesehatan dan sebagainya menjadi tidak konsisten, menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO.
Salah satu contoh dampak pandemic fatigue adalah mulai lalai lalu timbul rasa takut, kemudian patuh lagi akan anjuran dan protokol, lalu lalai lagi dan kembali lagi seperti itu menjadi siklus yang berbahaya.
"Kalau kita ngomongin berapa lama kita bertahan, ada satu titik di mana kita jenuh terhadap perubahan-perubahan yang diminta untuk dilakukan. Itu yang disebut pandemic fatigue," kata Sosiolog Universitas Indonesia, Indira Yasmine, dalam webinar bersama Frisian Flag, Senin (22/3), seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
Menurut Daisy, Indonesia sudah masuk dalam gelombang pandemic fatigue. Protokol kesehatan sulit dipertahankan karena orang Indonesia cenderung mengutamakan relasi keluarga dan kegembiraan. Tak heran jika sebagian besar mengeluh susah liburan dan melaksanakan ibadah di tempat ibadah.
Menurut Daisy, Indonesia sudah masuk dalam gelombang pandemic fatigue. Protokol kesehatan sulit dipertahankan karena orang Indonesia cenderung mengutamakan relasi keluarga dan kegembiraan. Tak heran jika sebagian besar mengeluh susah liburan dan melaksanakan ibadah di tempat ibadah.
Emosi, pengalaman, dan persepsi selama proses adaptasi saat pandemi berpengaruh dalam menyebabkan pandemic fatigue. (John Hopkins)
Daisy berkata, pandemic fatigue bisa dialami siapa pun. Kondisi ini dipengaruhi oleh emosi, pengalaman, dan persepsi selama proses adaptasi. Misalnya saja, adaptasi yang berlangsung lancar saat ada anggota keluarga yang terpapar. Sedangkan saat belum ada yang terpapar, protokol kesehatan cenderung longgar. Ada pula, misalnya, yang pasrah dan membiarkan apa pun yang nanti akan terjadi.
"Ini sudah diprediksi oleh WHO, apalagi krisis kesehatan publik berlarut, bisa terjadi kejenuhan sosial. Faktor berikutnya, perubahan yang diharapkan itu perubahan yang dipaksakan oleh institusi lewat regulasi ke orang yang kena dan tidak kena," jelasnya.
Bagaimana mengatasi pandemic fatigue
Jika Anda merasa mengalami kejenuhan sejenis ini, ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar pandemic fatigue tidak terlalu berlarut-larut. Pertama, pemerintah disarankan membuat regulasi yang berfokus pada manusia atau masyarakat. Kebijakan dibuat berbasis data dan tidak bisa dipukul rata.
Kedua, penting juga untuk menekankan community based solution. Artinya, melibatkan anggota masyarakat dalam penyesuaian terhadap situasi pandemi. Di sini diperlukan adanya keterbukaan dan perubahan gaya hidup. Terakhir yang tak kalah penting adalah membangun ketahanan keluarga agar bisa bertahan dan beradaptasi.
"Caranya, mengurangi sumber beban yang negatif [stres], menambah sumber yang positif misal relasi yang suportif dan responsif, dukungan komunitas, ketetanggaan, memelihara relasi dengan anggota keluarga, memindahkan titik tumpu," jelas Daisy.
(Stefanus/IDWS)
Sumber: CNNIndonesia.com