Karius, Bukti Betapa Tidak Adilnya Posisi Kiper Dalam Sepak Bola
Beberapa hari terakhir ini bisa dibilang merupakan mimpi buruk bagi kiper Liverpool F.C., Loris Karius setelah dua blunder fatalnya membuat The Reds tak kuasa membendung Real Madrid meraih gelar Liga Champions untuk ketiga kalinya secara berturut-turut. Liverpool dipaksa bertekuk lutut dalam final Liga Champions UEFA pada tanggal 26 Mei 2018 (27 Mei waktu Indonesia) dengan skor akhir 3 - 1, dimana gol pertama dan terakhir Real Madrid murni terjadi karena pecahnya konsentrasi Karius yang mengakibatkan dua blunder besar tersebut.
Mari kita melihat secara obyektif, kedua blunder tersebut memang merupakan kesalahan yang sangat parah. Karius "memberikan" gol pertama Real Madrid saat ia melempar bola tepat ke kaki Karim Benzema, striker Real Madrid, yang berada sangat dekat dengannya. Bola pun kemudian bergulir masuk ke gawang Liverpool.
Setelah gol penyama kedudukan dari Sadio Mane disusul oleh gol kelas dunia dari Gareth Bale yang membawa keunggulan sementara untuk Madrid 2 - 1, Karius kembali membuat blunder dengan ceroboh menepis tendangan keras jarak jauh dari Bale yang membuat bola tetap mengarah masuk ke gawang Liverpool setelah tepisan tersebut, untuk ketiga kalinya. Gol kedua Bale tersebut membuat mental para pemain Liverpool semakin terpuruk dan skor pun tidak berubah hingga wasit meniup peluit panjang.
Tak ada orang yang bisa disalahkan atas gol pertama Bale, yang membuat skor berubah menjadi 2 - 1 untuk keunggulan Madrid. Sebuah bicycle kick yang sangat fantastis dan agaknya susah untuk diulang kembali, namun kedua gol Real Madrid yang lain memang murni kesalahan kiper asal Jerman tersebut. Tanpa kedua blunder itu, banyak orang berpendapat bahwa skor 1 - 1 memang layak untuk kedua tim. Namun seharusnya di sinilah motto Liverpool "You'll Never Walk Alone" (kamu tak akan pernah berjalan sendirian) diuji.
Laporan dari dalam stadion menunjukkan bahwa usai laga berakhir, Karius sendirian di mulut gawang bertekuk lutut dan menangis meratapi kesalahannya, tanpa terlihat pemain-pemain Liverpool lainnya datang untuk menghibur atau sekedar menemani dalam momen tersulit dalam hidupnya tersebut.
Loris Karius meratapi performa buruknya sendirian di depan gawang usai laga final Liga Champions antara Real Madrid vs Liverpool
Pelatih kiper Liverpool, John Achterberg dan beberapa pemain Madrid lah yang justru pertama mendatangi Karius untuk menghiburnya.
Pemain Real Madrid, Nacho (seragam putih) tampak sedang menyemangati kiper Liverpool, Loris Karius, seusai pertandingan
Sang bintang dalam final Liga Champions 2018, Gareth Bale, tampak sedang menghibur Karius
No Liverpool players went over to Karius when he was lying on the ground, only Madrid players — Simon Kuper (@KuperSimon) May 26, 2018
Meski pada akhirnya para pemain Liverpool beserta sang pelatih utama, Jurgen Klopp terlihat menyempatkan diri menghibur Karius, keterlambatan mereka tetap menuai kecaman dari publik dan penggemar sepak bola lantara slogan klub yang mengutamakan kebersamaan dan besarnya skala pertandingan tersebut.
Jurgen Klopp pada akhirnya menepukkan tangan kepada Karius
Ragnhild Lund Ansnes, seorang penulis dari berbagai buku tentang Liverpool, membela para pemain Liverpool atas kesalahan mereka karena terlambat menghibur Karius. "Itu (keterlambatan pemain Liverpool menghibur Karius) sangat disayangkan, namun di saat yang sama saya kira kita semua juga bisa merasakan hal yang sama, kaku dan terpauk pada momen yang seharusnya bisa menjadi kemenangan terbesar dalam beberapa tahun terakhir," tuturnya kepada BBC 5Live. "Saya pikir kita semau terpaku terdiam. Ya itu memang sangat disayangkan akan tetapi saya rasa kita pun akan merasakan syok dan kekecewaan yang mendalam, serta berat hati menerima kenyataan. Saya pikir rekan-rekan (Karius) merasakan hal yang sama." tambahnya lagi.
Karius memang pantas disalahkan atas blunder-blunder fatalnya, namun tetap saja menumpahkan seluruh kesalahan kepadanya amatlah tidak adil.
Ketika dirimu adalah seorang kiper, hampir tidak ada toleransi akan kesalahan. Untuk posisi lain? Masih ada.
Mari kita lihat sejenak saat partai final Liga Champions kemarin itu ketika Cristiano Ronaldo, salah satu dari tiga pemain terhebat yang pernah ada, berada dalam situasi 1-on-1 di kotak pinalti Liverpool melawan Trent Alexander-Arnold, bek muda Liverpool yang baru berusia 19 tahun dan membuat kesalahan, melewatkan peluang begitu saja.
Hal itu terlihat sepele. Hanya setengah peluang yang tidak bisa dimaksimalkan dengan baik. Ronaldo menundukkan kepalanya untuk beberapa saat sebelum berjogging kecil untuk kembali ke posisinya. Karena dia adalah Ronaldo, dan ia bukanlah seorang kiper. Ronaldo "diperbolehkan" membuat kesalahan itu. Meski tentu para penggemar Madrid dan rekan setim Ronaldo agak dongkol melihatnya, tapi bagi mereka itu bukanlah masalah besar.
Karius tidak punya kemewahan seperti yang dirasakan Ronaldo. Lebih tepatnya, seluruh kiper tidak memilikinya.
Umpan salah sasaran sangat sering terjadi di lapangan. Sentuhan-sentuhan pada bola yang buruk lebih sering lagi. Hal tersebut terjadi begitu saja di seluruh penjuru lapangan, kapanpun itu. Namun para pemain kecuali kiper memiliki kesempatan untuk menebus kesalahan mereka, atau jika tidak, kesalahan yang mereka buat tidak serta merta berakibat fatal bagi tim secara langsung. Sebuah umpan yang buruk berujung lemparan ke dalam bagi lawan, tak masalah. Sentuhan pada bola yang buruk membuat peluang terlewatkan, oke tak masalah. Dan sekalipun kamu adalah pemain terakhir dari tim mu yang menghadang pemain lawan lalu tacklemu meleset, masih ada kiper yang berlari ke depan untuk menjadi palang pintu terakhir serta menyelamatkanmu dari blunder fatal.
Nyaris tidak ada yang bisa menebus kesalahanmu jika kamu adalah seorang kiper. Ya memang, para kiper memiliki lebih banyak ruang untuk memberikan umpan dari pada pemain di posisi lain. Namun kesalahan adalah kesalahan, semua pemain bisa membuat kesalahan. Dan kiper, hanya karena posisinya, seolah tidak diperbolehkan untuk membuat kesalahan-kesalahan sekecil apapun, baik oleh timnya sendiri ataupun pendukung tim, atau publik. Begitu seorang kiper melakukan kesalahan fatal, apalagi di sebuah pertandingan krusial, bisa dipastikan karirnya di klub tersebut akan segera berakhir. Tengok nasib Oliver Kahn dan Iker Casillas, dua kiper legendaris baik di klub maupun negara mereka masing-masing harus tergusur karena blunder-blunder yang mereka buat di penghujung karirnya --Kahn di Bayern dan Iker Casillas di Real Madrid-- seolah mencoreng bertahun-tahun pengabdian dan jasa mereka pada klub.
Maka dari itu tuntutan kepada seorang kiper amatlah tidak adil. Sebagai seorang striker, kamu bisa bermain buruk sepanjang pertandingan lalu tiba-tiba menjadi pahlawan dengan mencetak gol kemenangan di menit-menit akhir pertandingan. Sebaliknya untuk seorang kiper, bermain brilian sepanjang permainan seolah tak cukup untuk menutupi blunder yang dilakukan dalam selang beberapa detik saja.
Karius sendiri sudah meminta maaf kepada penggemar Liverpool sembari menangis pada malam itu juga.
A sobbing Loris Karius apologized to Liverpool fans after the #UCLFinal. pic.twitter.com/jHpkWfut7K — ESPN FC (@ESPNFC) May 26, 2018
Di sini penulis hanya berharap, terlebih untuk penggemar berat Liverpool di luar sana, untuk lebih berempati kepada Loris Karius yang telah bermain dengan cukup brilian untuk Liverpool hingga mencapai babak final Liga Champions daripada terus mencemooh dan menghujat. Ada yang harus ia tebus dengan dua blunder fatal di final tersebut --dengan kabar bahwa Klopp kembali memburu Alisson (kiper AS Roma) atau alternatifnya, Jan Oblak (Atletico Madrid)--, namun bukan berarti kita bisa begitu saja merendahkan harga dirinya sebagai seorang pemain maupun seorang manusia biasa.
Jangan patah semangat, Karius! Masih ada yang mendukungmu