Mentang-mentang Fresh Graduate UI, Marah Hanya Ditawari Gaji Rp 8 Juta & Rendahkan Lulusan Universitas Lain
IDWS, Jumat, 26 Juli 2019 - Belum lama ini tengah viral keluhan seseorang yang diduga lulusan Universitas Indonesia (UI) yang mengeluhkan fresh graduate UI seperti dirinya hanya ditawari gaji di kisaran 8 juta rupiah. Kalimat yang ia gunakan begitu mengagungkan status lulusan UI yang ia sandang, pun bernada merendahkan lulusan universitas lain di Indonesia.
2beer! Kepada netijen dipersilakan pic.twitter.com/6pvoztN2UF — Tubi SJW *katanya* (@tubirfess) July 23, 2019
Sebenarnya mengetahui kapasitas diri sendiri merupakan suatu nilai plus dari seorang tenaga kerja atau seorang individu, tak terbatas hanya sebagai tenaga kerja. Seperti yang kita tahu, kebanyakan fresh graduate cenderung sungkan untuk memaparkan nilai gaji yang menurut mereka layak untuk mereka terima (atau ingin mereka terima). Apalagi hampir semua fresh graduate belum memiliki pengalaman berkecimpung secara mendalam di dunia kerja, bagaimana mungkin mengetahui kisi-kisinya. Sehingga pada umumnya, mereka menyerahkan kepada perusahaan yang mereka lamar untuk menentukan angka gaji. Bila kurang berkenan, atau ada tawaran yang lebih baik, tinggal ditolak saja.
Jika kita telaah lagi, sebenarnya mentalitas menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada pihak lain tidak seharusnya dipelihara, terutama menyangkut keputusan penting seperti nominal gaji yang berpengaruh sangat besar bagi kehidupan manusia. Seseorang yang peduli akan masa depan tak akan melakukan hal seperti itu. Sesuai dengan sebuah nasehat, "masa depan ada di tanganmu sendiri". Orang-orang seperti lah yang punya kesempatan lebih besar dibandingkan kolega-koleganya untuk meniti tangga kesuksesan, menjadi "Dragon amongst men".
Pastinya tak sedikit yang menyadari konsep "masa depan ada di tanganmu sendiri". Tapi mereka biasanya terhalang oleh keterbatasan pengalaman, pengetahuan, atau wawasan. Seperti yang disebutkan di atas, jarang ada fresh graduate dengan pengalaman mumpuni di dunia kerja, atau lebih tepatnya bagaimana dunia bekerja serta seperti apa hidup seorang dewasa dengan segala tanggung jawabnya terhadap diri sendiri, keluarga, kolega, masyarakat, hingga negara. Otomatis faktor ini juga memengaruhi cara mereka menilai kapasitas diri sendiri, yang seringkali meleset dari yang semestinya.
Alih-alih menjadi "dragon amongst men", mereka malah tampak seperti "new-born calves aren't afraid of tigers". Kesalahan menilai kapasitas diri karena kurangnya pengetahuan serta wawasan yang terbatas, ibarat katak dalam sumur tak mengetahui dunia di luar sumur tersebut dan mengira dunia hanya seluas isi sumur itu. Sudut pandang sempit, terlalu self-centered, ditambah dengan berbagai faktor seperti ekspektasi berlebihan, keinginan mempertahankan atau meningkatkan gaya hidup yang biasa dijalani, atau merasa superior akibat doktrinisasi terselubung, melahirkan fresh graduate dengan permintaan gaji begitu tinggi hingga kadang di luar kapasitasnya.
Agar lebih fair, sebenarnya sah-sah saja dia menolak gaji awal 8 juta. Semua kembali lagi kepada hak dia dalam mengambil keputusan, toh dia juga yang melamar pekerjaan, hidup juga hidup dia serta tidak berdampak buruk (mungkin, secara langsung atau tidak langsung) kepada kita. Menjadi apa seseorang, adalah sepenuhnya ada di tangannya sendiri. Entah menjadi orang terpandang, panutan bangsa, atau penjahat kelamin sekalipun, semua itu dengan catatan dia siap menerima resikonya.
Attitude bukanlah segalaya, namun begitu juga dengan latar belakang pendidikan serta skill. Yang terpenting sebenarnya adalah pola pikir
Apa yang sebenarnya saya sayangkan sebagai penulis artikel ini adalah, bagaimana dalam kalimat tersebut ia secara tersirat merendahkan lulusan dari universitas lain. Padahal, sejarah sudah membuktikan bahwa orang dengan latar belakang pendidikan Sekolah Dasar (SD) pun bisa menjadi sukses. Dengan kalimatnya itu pula, juga membuktikan bagaimana dia lupa bahwa kualitas seorang tenaga kerja bukan hanya dari latar belakang pendidikan atau tempatnya berkuliah saja, namun juga etika sopan santun dalam bermasyarakat dan dunia kerja.
Mungkin dia lupa bahwa para HRD perusahaan-perusahaan kini juga memerhatikan sepak terjang dunia maya calon-calon pegawai perusahaannya. Sudah banyak kasus di mana fresh graduate yang diterima bekerja interim di sebuah perusahaan pun ditendang keluar karena komentar-komentarnya yang kurang pantas di media sosial. Belum lagi, di era serba digital ini, tak jarang akun-akun media sosial suatu calon karyawan juga diwajibkan untuk dicantumkan untuk dipantau lebih jauh.
Ini belum termasuk bagaimana dia menyebut bahwa lulusan UI itu level bekerjanya adalah perusahaan luar negeri (LN) yang seolah ia juga merendahkan perusahaan-perusahaan lokal yang notabene seharusnya kita dukung karena merekalah yang menopang ekonomi negara kita.
Mengapa harus merespons tawaran gaji yang mungkin di matanya "rendah" itu dengan marah-marah di media sosial? Itu bukanlah sikap yang patut disombongkan sebagai seorang lulusan UI. Tindakan tersebut malah seperti menampar universitasnya sendiri, bagaimana bisa mereka menghasilkan lulusan dengan etika dan perilaku dunia maya seperti itu. Tak heran apabila reaksi UI sendiri yang pertama adalah, meragukan keaslian dari pengakuan orang tersebut sebagai fresh graduate UI. Namun UI juga tak mengelak bahwa jika memang itu adalah lulusan mereka, maka itu adalah hal yang sangat disayangkan.
Kunci untuk menjadi fresh graduate sukses (sukses sebagai fresh graduate, alias hanya kesuksesan di langkah pertama saja dalam dunia kerja) adalah mengetahui dengan pasti perusahaan tujuanmu. Menargetkan perusahaan-perusahaan besar dengan nama mentereng hanya karena merasa bekerja di sana dapat meningkatkan taraf hidup semata merupakan pola pikir ketinggalan zaman. Masih banyak perusahaan-perusahaan yang meski jarang terdengar, namun punya visi dan misi yang jelas, menopang ekonomi bangsa dengan produk atau jasanya, serta memiliki lebih banyak kesempatan berkembang dalam karir dibandingkan dengan perusahaan ternama.
Melakukan riset dengan menyeluruh akan perusahaan-perusahaan berbeda, lalu memilih perusahaan yang sesuai dengan kemampuan dan visi, adalah pola pikir seseorang yang nantinya akan sanggup menopang bangsa dengan membuka lapangan usaha sendiri di masa depan. Selain itu, dengan meriset perusahaan tujuan, maka kamu akan memperoleh gambaran bagaimana perusahaan akan menilai kemampuanmu dan menentukan gajimu, serta peluan apa yang dapat kamu peroleh di sana. Semua itu membuat posisimu selangkah lebih maju dibandingkan para pesaingmu.
Menjadi fresh graduate dengan pemikiran jauh ke depan, bukan hanya sekedar mengejar prestige bekerja di perusahaan ternama saja. Justru kesempatan menjadi kaya raya datang dari inovasi yang berada di suatu tempat yang jarang atau bahkan tidak diminati orang-orang pada saat ini. Setinggi-tingginya jabatan, selama masih berstatus karyawan maka kamu adalah laborer, orang yang menjual "waktu dalam hidupnya" untuk ditukar dengan uang. Jadilah financier, atau orang yang berinvestasi dalam "waktu" milik orang lain. (Stefanus/IDWS)