Mengapa Kita Kadang Memilih Pasangan yang Menyulitkan Diri Kita Sendiri
IDWS, 25 Oktober 2018 - Secara teori, kita bebas untuk memilih seperti apa orang yang kita cintai sebagai pasangan hidup (atau calon). Meskipun kadang ada paksaan dari lingkungan sosial ataupun keluarga akan pasangan yang kita pilih, pada zaman modern ini hal tersebut tidaklah seintens zaman dulu, sehingga bisa dibilang pilihan akan orang yang kita cintai sebagian besar jatuh ke tangan kita sendiri.
Namun sesungguhnya, mungkin saja apa yang kamu anggap pilihanmu sendiri sebenarnya tidaklah seperti yang kamu duga. Terdapat batasan tak kasat mata dan bahkan kamu sendiri tak tahu, telah memengaruhi preferensimu akan orang yang kamu pilih untuk dicintai. Batasan tersebut tak lain ialah riwayat psikilogismu.
Semua berawal dari masa kecil kita. Kita belajar mencintai setelah kita merasakan seperti apa dicintai, dan hal itu biasanya kita pelajari di saat kita kecil. Maka dari itu, sering kamu dengan wanita yang mencari sosok pria yang mirip dengan ayahnya, atau laki-laki yang mencari sosok wanita yang mirip dengan ibunya. Karena pada umumnya, kedua orang tua kita lah yang pertama kali membuat kita merasakan rasanya "dicintai".
Sebenarnya kata mirip sendiri itu cukup ambigu, karena ada banyak faktor yang mendefinisikan apakah seseorang mirip dengan ayah atau ibu kita. Nah, sebenarnya apa yang kita cari bukanlah kemiripan seperti fisik atau perilaku, namun suatu hal yang lebih fundamental daripada itu.
Pengaruh dari masa kecil dalam menentukan pasangan pilihan kita
Sumber: The School of Life/YouTube
Pada umumnya, dalam memilih pasangan, apa yang sebenarnya kita cari adalah seseorang yang mampu merekreasikan rasa dicintai yang kita rasakan di masa kecil kita.
Yang menjadi pangkal masalah adalah, ketike rasa cinta yang kita rasakan di masa kecil belum tentu hanya terdiri dari kasih sayang, murah hati, atau lemah lembut. Dengan bagaimana dunia "bekerja", mau tak mau cinta pun kadang terpelintir bersama dengan aspek-aspek yang menyakitkan: merasa diri tidak berguna, simpati kepada orang tua yang rapuh akan depresi, atau tak bisa hidup tanpa memiliki pasangan seburuk apapun pasangan tersebut.
Aspek-aspek negatif di atas, sedikti banyak memberi pengaruh ketika kita tumbuh besar dan mencari pasangan pendamping kita. Membuat kita cenderung memilih pasangan bukan karena kebaikannya kepada kita, atau kelebihannya, tapi lebih memilih orang yang terasa familiar, yang mampu membuat kita merasakan kembali feeling akan cinta yang pernah kita alami di masa kecil.
Kecenderungan ini membuat kita menyingkirkan kandidat prospektif dan bermutu, hanya karena kandidat tersebut tak mampu memuaskan hasrat kita akan feeling yang kita asosiasikan dengan cinta. Mungkin saja kita beralasan "ah orang itu kurang seksi", atau "ah orang itu membosankan" ketika sebenarnya apa yang kita maksud adalah: "sepertinya tidak akan bisa membuatku cukup menderita untuk merasakan rasa cinta nyata yang pernah kurasakan."
Masalah-masalah yang kita hadapi biasanya terjadi karena kita terus menerus merespon orang lain dengan cara yang kita pelajari dari kecil. sebagai contoh, jika kamu memiliki orang tua pemarah yang gemar menaikkan nada biacaranya ketika sedang naik pitam. Karena orang tua sendiri, kamu tetap mencintai mereka dan merasa bahwa kamu harus merasa bersalah jika orang tua berbicara dengan nada tinggi.
Sekarang ketika kamu sudah dewasa, kamu akan cenderung memilih pasangan yang juga gemar berbicara dengan nada tinggi atau pemarah. dan jika terjadi konflik dengan pasangan tersebut, terlepas apakah kamu berada dalam posisi yang benar atau tidak, kamu cenderung merespon seperti anak kecil ketakutan karena tertangkap basah mencuri buah mangga milik tetangga. Kamu merasa bersalah dengan mudah, tak mampu melawan, dan memilih menyimpan dalam-dalam keinginan untuk melawan balik. Lambat laun, rasa untuk melawan tersebut akan semakin besar dan menjadi bom waktu, yang bisa meledak dengan konsekuensi yang mungkin tak bisa kamu bayangkan sendiri.
Contoh lain ialah ketika kamu memiliki orang tua yang mudah mengeluh dan suka menuntut, membuat kamu cenderung memilih pasangan yang manja, gemar merengek, atau menuntut kita dengan berbagai permintaan. Lalu kamu lama-lama merasa frustasi pada pasanganmu itu dan terjadilah perselisihan. Meski dalam hati kamu merendahkan pasanganmu tersebut karena kekurangan-kekuranganna, akan sulit bagimu untuk bisa meninggalkannya demi pasangan yang benar-benar bisa membuatmu melangkah maju dan berkembang.
Sumber: Mimi Matthews.com
Bagaimana mengatasinya?
Biasanya, nasehat-nasehat yang diberikan kepada orang-orang yang terjerat dengan pasangan negatif adalah untuk meninggalkan pasangan mereka tersebut lalu mencari seseorang yang lebih baik atau lengkap. Nasehat seperti ini, jika kalian tahu, sebenarnya nyaris mustahil baik secara teori maupun praktek. Kita tidak bisa begitu saja mengubah definisi psikologis kita sendiri akan rasa cinta. Namun, kita bisa merubah cara kita merespon atau berperilaku sebagai jalan untuk mengatasi masalah tersebut.
Mungkin selamanya pun kamu tidak akan bisa mengubah definisi psikologismu akan cinta, namun kamu bisa mencoba untuk mengubah pandangan dan reaksimu. Yakni dengan merespon sesuatu dengan cara yang lebih dewasa dan konstuktif, bukannya dengan cara yang kamu pelajari saat kecil. Ada banyak kesempatan bagimu untuk berkembang dari mentalitas anak kecil menjadi dirimu yang matang dan dewasa dengan mempelajari bagaimana seorang yang dewasa merespon berbagai kesulitan atau masalah.
Perilaku Negatif Pasangan | Respon Kekanak-kanakan | Respon Dewasa & Matang |
---|---|---|
Menaikkan nada bicara | "Ini semua salahku." | "Aku tidak harus merasa bersalah dan tak boleh takut jika memang tidak bersalah." |
Menggurui | "Aku memang bodoh." | "Ada banyak jenis kepandaian, dan kepandaian yang kumiliki itu tak masalah." |
Mudah menyerah dan menjelek-jelekkan diri sendiri | "Aku harus bisa memperbaiki dan menjadikanmu orang yang lebih baik." | "Aku akan berusaha sebisaku, tapi kamu sendirilah yang bertanggung jawab akan pola pikirmu dalam memandang kegagalan. Sikapmu tak akan membuatku ikut terpuruk." |
Memaksakan kehendak | "Baiklah, aku memang hanya bisa menurut saja." | "Aku tak terintimidasi olehmu." |
Kurang perhatian | Caper, Attention Seeking, "Please notice me." | "Kamu sibuk, aku juga sibuk, oke lah. Hubungan kita tidak akan mudah berakhir, jadi tak usah terlalu khawatir tak ada kesempatan." |
Respon di atas bukanlah untuk mengakhiri hubungan dengan pasangan, namun ditujukan untuk menghadapi perilaku dari pasangan yang berdampak negatif bagi dirimu. Hubungan berakhir hanyalah salah satu konklusi, akan tetapi jika pasanganmu bisa merupah perilaku-perilaku negatifnya ke arah yang lebih positif, bukannya itu menjadi cerita yang berakhir dengan baik? (Stefanus/IDWS)
Sumber: Theschooloflife