Menteri BUMN Erick Thohir Tuding Manajemen Lama Garuda Indonesia Lakukan Tindak Korupsi
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, mengungkapkan biang keladi terpuruknya keuangan maskapai Garuda Indonesia.
IDWS, Rabu, 12 Januari 2022 - Seperti yang diberitakan IDWS sebelumnya, para kreditur Garuda Indonesia yang berjumlah 470 kreditur belum lama ini mengajukan klaim penagihan utang mencapai USD 13,8 miliar atau sekitar Rp 196 triliun.
Menteri BUMN Erick Thohir pun angkat bicara mengenai nasib tragis Garuda Indonesia. Menurutnya, kebiasaan manajemen lama maskapai pelat merah itu membeli atau menyewa pesawat tanpa memetakan rute penerbangan terlebih dahulu membuat kondisi finansial perusahaan berdarah-darah.
"Setelah kami dalami, banyak pembelian ini, hanya beli pesawat, bukan justru rutenya yang dipetakan lalu pesawatnya apa. Jadi ini malah pesawatnya dulu, baru rutenya," ungkap Erick dalam wawancara di Sapa Indonesia Malam KompasTV, Selasa (11/1/2022), seperti dikutip dari Kompas.com.
Menurut Erick Thohir, suatu maskapai semestinya memetakan lebih dulu rute penerbangan baru membeli pesawat yang jenisnya sesuai dengan kondisi rute demi mencapai keuntungan maksimal.
Celakanya, Garuda malah terbiasa melakukan hal sebaliknya dengan membeli pesawat terlebih dahulu, suatu blunder yang seharusnya tidak terjadi bagi perusahaan selevel Garuda Indonesia. Hal ini menurut Erick Thohir, mengindikasikan adanya korupsi yang dilakukan manajemen lama Garuda Indonesia.
Teranyar, Erick melaporkan dugaan tindakan korupsi pengadaan pesawat jenis ATR 72-600 tahun 2013 ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Dugaan korupsi ini dilakukan di era Direktur Utama Garuda Indonesia berinisial ES.
Ia melaporkan tindakan korupsi itu berdasarkan hasil audit investigasi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Menteri BUMN Erick Thohir bersama Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam konferensi pers di Kantor Kejagung, Selasa (11/1/2022). (KOMPAS.com/YOHANA ARTHA ULY)
"Kami serahkan bukti-bukti audit investigasi, jadi bukan tuduhan, sudah bukan lagi era menuduh, tapi mesti ada fakta yang diberikan," ujar Erick saat konferensi pers di Gedung Kartika, Kantor Kejagung, Jakarta, Selasa (11/1/2022), dikutip dari Kompas.com.
"Kemarin kami sudah koordinasikan dengan Kejaksaan. Nah, hari ini kami resmi memberikan laporan secara audit investigasi," sambung Erick.
Biaya perawatan membengkak
Masalah lain yang membuat Garuda Indonesia jatuh ke jurang utang adalah mengenai banyaknya jenis pesawat yang dibeli maupun disewa perusahaan. Hal itu membuat perusahaan harus menjalankan cara perawatan (maintenance) yang berbeda-beda menyesuaikan jenis pesawat, dan otomatis mendongkrak biaya pengeluaran.
"Jadi Garuda itu, lessor kita termahal mencapai 28 persen, sedangkan pesawat-pesawat maskapai lain itu 8 persen. Lalu Garuda banyak jenis pesawatnya sehingga operasionalnya pun lebih mahal," jelasnya.
Erick mengungkapkan, Garuda Indonesia sempat beroperasi dengan 200 pesawat, yang kemudian turun menjadi 142 pesawat. Setelah terpukul akibat pandemi, jumlahnya kian berkurang menjadi kini beroperasi dengan 35 pesawat. Di sisi lain, kata dia, manajemen lama juga banyak menyewa pesawat dari para lessor dengan harga yang tinggi atau kemahalan dibandingkan harga rata-rata di pasaran.
Pesawat Garuda Indonesia. (Foto: Pixabay/Fariz Priandana)
Ia mengatakan, permasalahan di internal Garuda Indonesia itu semakin memburuk ketika pandemi Covid-19 membuat industri penerbangan terpukul. Oleh sebab itu, Erick menilai, pandemi menjadi momentum perbaikan di tubuh maskapai pelat merah itu. Saat ini. Garuda Indonesia sendiri dalam status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sementara sebagai upaya restrukturisasi untuk mendapat homologasi berkekuatan hukum dengan para lessor dan kreditur.
"Maka, justru dengan kondisi Covid-19 ini, bagus kita mengintropeksi seluruh bisnis model yang ada di Garuda," pungkas Erick.
Sejatinya sudah bangkrut
Sebagai gambaran, Kementerian BUMN mencatat, hingga akhir September 2021, utang Garuda Indonesia mencapai USD 9,8 miliar atau sekitar Rp 140 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per dollar AS). Secara terperinci, liabilitas atau kewajiban Garuda mayoritas berasal dari utang kepada lessor mencapai 6,35 miliar dollar AS.
Selebihnya ada utang ke bank sekitar USD 967 juta, dan utang dalam bentuk obligasi wajib konversi, sukuk, dan KIK EBA sebesar USD 630 juta . Secara teknis, Garuda Indonesia pun sudah dalam kondisi bangkrut, tetapi belum secara legal. Hal itu karena maskapai milik negara ini punya utang yang lebih besar ketimbang asetnya, sehingga mengalami ekuitas negatif. Garuda memiliki ekuitas negatif sebesar USD 2,8 milliar, di mana liabilitasnya mencapai 9,8 miliar dollar AS, sedangkan asetnya hanya sebesar USD 6,9 miliar.
(Stefanus/IDWS)
Sumber: Kompas.com