Krisis Garuda Indonesia: Penyakit Lama yang Berujung Pada Ironi
Garuda Indonesia yang pernah jadi simbol kebanggaan rakyat Indonesia, kini berbalik menjadi seperti kanker dengan utang menggunung yang melilit perusahaan maskapai penerbangan berstatus BUMN itu.
IDWS, Kamis, 10 Juni 2021 - Pandemi virus corona (COVID-19) yang melanda dunia saat ini memang membuat banyak maskapai di berbagai negara bertekuk lutut. Namun bagi Garuda Indonesia, COVID-19 lebih mengarah ke mempercepat sesuatu yang sudah pasti terjadi, cepat atau lambat — the inevitable, yang dalam kasus ini adalah kebangkrutan.
Kondisi keuangan Garuda Indonesia saat ini sungguh mengenaskan. Selain terjerat utang mencapai Rp 70 triliun, perusahaan milik negara itu juga kesulitan meraih untung akibat pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai, ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula. Bahkan perusahaan sampai harus menawarkan program pensiun diri bagi para karyawannya hingga 19 Juni 2021 mendatang demi menyelamatkan keuangan. Sejauh ini, sudah ada lebih dari 100 karyawan Garuda Indonesia yang mengajukan pensiun diri menurut laporan Kompas.com pada 9 Juni 2021.
Belum lagi, Garuda Indonesia juga terpaksa mengembalikan beberapa pesawat yang mereka pinjam dari perusahaan leasing karena sudah telah membayar biaya sewa pesawat.
Ironi sewa-pinjam pesawat yang menimpa Garuda Indonesia
Menariknya, Kementerian BUMN menyebut bahwa salah satu biang kerok kerugian Garuda Indonesia adalah kesepakatan peminjaman pesawat dari perusahaan-perusahaan leasing.
Mengapa hal itu menarik? Karena pada umumnya, maskapai penerbangam lebih memilih model bisnis menyewa pesawat daripada membeli karena lebih menguntungkan secara keseluruhan. Membeli pesawat ke perusahaan seperti Boeing atau Airbus menguras banyak dana sehingga menurunkan likuiditas maskapai, yang otomatis memengaruhi keberlangsungan operasional maskapai serta membatasi ruang gerak mereka dalam melakukan manuver-manuver bisnis — seperti persaingan harga tiket misalnya, atau pembukaan rute penerbangan baru dan biaya perawatan pesawat dan lain-lain yang tidak kecil jumlahnya.
(Garuda Indonesia)
Meminjam pesawat dari perusahan leasing memberi nafas lebih bagi maskapai dari segi likuiditas, serta mempermudah maskapai menyusun rencana demi meningkatkan pemasukan sekaligus meningkatkan profit. Hal ini utamanya dikarenakan harga satu unit pesawat begitu mahal. Melansir kabarpenumpang.com, harga satu unit pesawat Boeing 787-8 baru mencapai US$240 juta atau sekitar Rp3,7 triliun (kurs Rp15.808).
Sedangkan perusahaan-perusahaan leasing kenamaan dunia seperti Avolon atau GECAS rata-rata memasang tarif sewa sekitar US$1 juta atau Rp15,8 miliar per bulan. Jika dihitung secara kasar, maka suatu maskapai bisa menggunakan uang US$240 juta untuk menyewa satu pesawat Boeing 787-8 selama 20 tahun — belum memperhitungkan diskon jika meminjam banyak pesawat sekaligus. Cukup hemat bukan?
Pesawat Boeing 787-8. (Wikimedia Commons)
Untuk pembahasan mengenai seluk beluk bisnis pinjam-sewa pesawat bisa kalian baca di sini.
Dan praktik sewa-pinjam pesawat yang seharusnya tidak terlalu membebani likuiditas maskapai dibandingkan membeli sendiri itu ironisnya, justru menjerat Garuda Indonesia ke jurang utang. Apa yang salah dari Garuda?
Korupsi internal dan kongkalikong dengan perusahaan leasing nakal
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo, Garuda Indonesia juga menyewa pesawat terlalu banyak namun tak diimbangi dengan okupansi penumpang yang mencukupi.
"Memang jenis pesawat yang di sewa di masa lalu itu terlalu banyak dan sewanya kemahalan. Ini tentunya penyakit masa lalu Garuda, di mana cost structure-nya (struktur biaya) jauh melebihi dari maskapai-maskapai sejenis," ungkap Kartika dalam acara Business Talk Kompas TV, Rabu (9/6/2021), dikutip dari Kompas.com.
"Tentunya dengan kondisi COVID-19, pendapatan (Garuda Indonesia) menurun dan kondisi ini sudah berjalan setahun lebih. Oleh karena itu, memang selama ini yang dilakukan adalah penundaan pembayaran. Jadi sebenarnya, kalau kami mau jujur, dari dulu sudah banyak yang enggak dibayar kewajibannya," lanjut Kartika.
Lantas, kenapa biaya sewa pesawat bagi Garuda Indonesia lebih tinggi dibandingkan maskapai-maskapai lain? Menteri BUMN Erick Thohir menyebutkan ada indikasi lessor nakal yang memberikan tarif sewa lebih mahal pada Garuda Indonesia dibandingkan tarif pasaran. Praktik ini bisa saja terjadi karena ada kongkalikong antara perusahaan penyewa dengan lessor alias perusahaan leasing.
Erick Thohir mengatakan sejak awal Kementerian BUMN meyakini salah satu masalah terbesar di Garuda Indonesia mengenai lessor. Di Garuda Indonesia ada 36 lessor yang memang harus dipetakan ulang, mana saja lessor yang sudah masuk kategori dan bekerja sama di kasus yang sudah dibuktikan koruptif.
Utang menggunung
Garuda Indonesia tercatat memiliki utang 4,9 miliar dolar AS atau setara Rp 70 triliun. Angka tersebut meningkat sekitar Rp 1 triliun setiap bulan karena terus menunda pembayaran kepada pemasok. Perusahaan memiliki arus kas negatif dan utang minus Rp 41 triliun. Tumpukan utang tersebut disebabkan pendapatan perusahaan yang tidak bisa menutupi pengeluaran operasional.
Berdasarkan pendapatan Mei 2021 Garuda Indonesia hanya memperoleh sekitar 56 juta dolar AS dan pada saat bersamaan masih harus membayar sewa pesawat 56 juta dolar AS, perawatan pesawat 20 juta dolar AS, bahan bakar avtur 20 juta dolar AS, dan gaji pegawai 20 juta dolar AS.
Sementara jika berdasarkan data laporan keuangan terakhir yang dirilis Garuda Indonesia pada kuartal III 2020, BUMN penerbangan itu mempunyai utang sebesar Rp 98,79 triliun yang terdiri dari utang jangka pendek Rp 32,51 triliun dan utang jangka panjang sebesar Rp 66,28 triliun.
Sebelum pandemi COVID-19, perseroan sempat membukukan keuntungan hampir mencapai Rp 100 miliar pada 2019. Namun, pandemi yang melanda Indonesia pada awal 2020 hingga sekarang telah memukul keuangan perusahaan. Pada kuartal III 2019, Garuda Indonesia membukukan laba bersih sebanyak Rp 1,73 triliun, lalu merugi hingga Rp 15,19 triliun pada kuartal III 2020 akibat dampak pandemi.
Pendapatan Garuda Indonesia tercatat turun dari awalnya Rp 50,26 triliun pada kuartal III 2019 menjadi hanya Rp 16,04 triliun pada kuartal III 2020. Perseroan lantas menawarkan program pensiun dini untuk para karyawan hingga 19 Juni 2021 mendatang demi menyelamatkan keuangan perusahaan yang tertekan akibat rugi dan utang.
Sejauh ini, sudah ada lebih dari 100 karyawan yang mengajukan pensiun dini. Selain pensiun dini, sejumlah aksi yang turut dilakukan Garuda Indonesia di antaranya memaksimalkan kerja sama dengan mitra usaha guna mendorong peningkatan pendapatan.
Sementara itu dari pihak pemerintah berencana memangkas jumlah komisaris Garuda Indonesia hingga mengubah orientasi bisnis perseroan yang semula melayani rute penerbangan internasional menjadi hanya berfokus pada penerbangan domestik saja.
(Stefanus/IDWS)
Sumber: kabarpenumpang.com, Kompas.com