Ketika Hakim Agung Jadi Tersangka Suap Terkait Penanganan Perkara di MA
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap 10 orang dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).
IDWS, Sabtu 24 September 2022 - Peneliti ICW Lalola Easter menilai, perkara yang melibatkan hakim agung kamar perdata di MA itu semakin mencoreng dunia peradilan.
"Dari sepuluh orang tersebut, satu di antaranya merupakan hakim agung, yakni Sudrajad Dimyati," ujar Lalola melalui keterangan tertulis, Sabtu (24/9/2022).
"Peristiwa ini kian memperlihatkan kondisi lembaga kekuasaan kehakiman benar-benar mengkhawatirkan," ucapnya seperti dikutip dari Kompas.com.
Lalola mengatakan, kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA semakin menambah panjang daftar hakim yang terjerat korupsi. Berdasarkan data KPK, ucap dia, sejak lembaga antirasuah itu berdiri, tak kurang 21 hakim terbukti melakukan praktik lancung. ICW pun memiliki sejumlah catatan terkait kasus yang menjerat Sudrajad Dimyati.
Hakim Agung Kamar Perdata pada Mahkamah Agung (MA) Sudrajad Dimyati ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (23/9/2022). Sudrajad ditetapkan sebagai tersangka bersama sembilan orang lainnya, termasuk pegawai pada Kepaniteraan MA, pengacara, dan pihak swasta terkait kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA.(KOMPAS.com/IRFAN KAMIL)
Pertama, kata Lalola, rekam jejak hakim Sudrajad Dimyati memang bermasalah. Hal ini terlihat ketika Sudrajad diduga berusaha menyuap anggota Komisi III DPR RI dalam proses fit and proper test calon hakim agung pada 2013. Sudrajad pun diperiksa Komisi Yudisial (KY) tetapi tidak terbukti melakukan suap tersebut. Namun, Sudrajad gagal menjadi hakim agung pada tahun itu. Setahun kemudian, Sudrajad kemudian dipilih menjadi hakim agung kamar perdata.
"Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa proses seleksi calon hakim agung tidak mengedepankan nilai-nilai integritas," ucap Lalola.
Catatan kedua, lanjut dia, lemahnya proses pengawasan lembaga, baik oleh Badan Pengawas (Bawas) MA maupun KY, semakin membuka celah terjadinya korupsi di sektor peradilan. Menurut Lalola, kondisi tersebut memungkinkan masih banyaknya oknum hakim dan petugas pengadilan yang korup tetapi tidak teridentifikasi oleh penegak hukum. Di saat yang sama, jika dilihat beberapa tahun terakhir, kinerja MA justru mendapat banyak sorotan dari masyarakat. Beberapa di antaranya adalah pengenaan hukum ringan terhadap pelaku korupsi yang berulang.
"Berdasarkan data tren vonis yang dikeluarkan oleh ICW, tercatat pada tahun 2021 rata-rata vonis pengadilan hanya mencapai 3 tahun 5 bulan," papar Lalola.
Tak hanya itu, alih-alih melakukan perbaikan untuk memaksimalisasi pemberian efek jera, MA justru banyak mengobral diskon pemotongan masa hukuman melalui proses peninjauan kembali (PK). Masih berdasarkan data tren vonis ICW, pada 2021, tercatat ada 15 terpidana korupsi yang dikurangi hukumannya melalui upaya hukum luar biasa tersebut.
Melalui uji materil Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, MA justru membatalkan regulasi yang secara ketat mengatur syarat pemberian remisi maupun pembebasan bersyarat untuk terpidana kasus korupsi.
"MA berkontribusi terhadap pembebasan bersyarat 23 napi korupsi beberapa waktu lalu," ucap Lalola.
Artikel Asli: Kompas.com