Sri Mulyani Kritik 24.000 Aplikasi Pemerintah yang Tidak Berfungsi dan Dianggap Hanya Pemborosan Anggaran Negara
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengkritik banyaknya aplikasi pemerintah yang saling tumpang tindih fungsinya sehingga tidak efisien dan hanya jadi pemborosan anggaran negara.
IDWS, Selasa, 12 Juli 2022 - Menurut Sri Mulyani, jumlah aplikasi-aplikasi milik pemerintah yang dianggap sebagai pemborosan itu berjumlah hingga 24.000 aplikasi yang terbesar di berbagai kementerian dan lembaka (K/L). Akibat tumpang tindih fungsi satu sama lain, aplikasi-aplikasi tersebut tidak berfungsi dan hanya menggerogoti anggaran negara saja.
Bayangkan kita punya 24.000 aplikasi dan setiap kementerian/lembaga itu punya 2.700 database sendiri-sendiri," ujar Sri Mulyani dalam side event "G20: Festival Ekonomi Keuangan Digital" di Bali pada Senin (11/7/2022), seperti dikutip dari Kompas.com.
Pemerintah, menurut Sri Mulyani, akan melakukan intergovernmental connection atau integrasi data yang akan disederhanakan dalam satu database, yang diyakini dapat menghemat biaya operasional pemerintah agar lebih efisien, efektif, dan mengurangi risiko serangan siber.
"Jadi enggak setiap kementerian/lembaga semua membuat aplikasi sendiri-sendiri yang tidak interoperable (dapat dioperasikan), melainkan mereka akan lebih terkoordinasi. Itu yang disebut digitalisasi government dan juga supaya seluruhnya itu bisa jauh lebih efisien," jelas Sri Mulyani.
Sri Mulyani dalam side event G20: Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia 2022 di Bali pada Senin (11/7/2022). (Foto: Kemenkeu.go.id)
Reaksi Menkominfo
Menanggapi kritikan Menkeu Sri Mulyani, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate memastikan bahwa pihaknya bakal penutup aplikasi-aplikasi tersebut secara bertahap dan menggantinya dengan aplikasi super (super app).
"Dari 24.000 aplikasi itu, kami pelan-pelan mulai lakukan shutdown atau ditutup, dan pindahkan pelan-pelan," ungkapnya seperti dikutip dari Kompas.com.
Ia menjelaskan, penggunaan aplikasi pemerintah saat ini memang tidak efisien lantaran masing-masing aplikasi bekerja sendiri, tidak terintegrasi. Bahkan, setiap kementerian/lembaga serta pemerintah daerah memiliki aplikasi yang berbeda-beda setiap unitnya.
Di sisi lain, pemerintah juga menggunakan 2.700 pusat data dan hanya 3 persen yang berbasis cloud. Sisanya bekerja sendiri-sendiri yang mengakibatkan sangat sulit untuk terintegrasi guna menghasilkan satu data sebagai implementasi dari data driven policy di Indonesia.
Oleh sebab itu, kata Johnny, pemerintah tengah menyiapkan super apps yang nantinya hanya akan ada antara 8 sampai 10 aplikasi untuk kementerian/lembaga ataupun pemerintah daerah.
"Jadi ini memang perlu disiapkan dengan benar karena sangat tidak efisien. Paling tidak hanya 8 aplikasi. Ini sedang kami siapkan dalam roadmap kami," tutupnya.
(Stefanus/IDWS)
Sumber: Kompas.com