Alasan Kenapa ICJR Menyayangkan Vonis Mati Kepada Pelaku Pemerkosa 13 Santriwati di Bandung
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyayangkan keputusan Pengadilan Tinggi Bandung menjatuhi vonis hukuman mati kepada terdakwa kasus pemerkosaan belasan santriwati di Bandung, Herry Wirawan. Lho, kok bisa?
IDWS, Selasa, 5 April 2022 - Menurut Direktur ICJR, Erasmus Napitupulu, vonis tersebut malah menjadi preseden buruk bagi proses pencarian keadilan bagi korban kekerasan seksual.
"Putusan ini akan menjadi preseden buruk bagi proses pencarian keadilan korban kekerasan seksual karena fokus negara justru diberikan terhadap pembalasan kepada pelaku, alih-alih korban yang seharusnya dibantu pemulihannya," ujar Erasmus melalui keterangan tertulis, Senin (4/4/2022), seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
Herry Wirawan terdakwa kasus perkosaan 13 santriwati digiring petugas masuk mobil tahanan seusai dihadirkan pada sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (11/1/2022). (Foto: Tribunnews.com/TRIBUN JABAR/Gani Kurniawan)
Hukuman mati adalah bukti kegagalan negara
Rasmus mengaku mengutip Komisaris Tinggi Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (UN High Commissioner for Human Rights), Michelle Bachelet. Disebutkan bahwa hukuman mati dan penyiksaan terhadap pelaku bukanlah solusi untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual, sebab, tidak ada bukti ilmiah yang bisa membuktikan bahwa pidana mati dapat memberikan efek jera — termasuk dalam kasus perkosaan.
"Masalah dari kasus-kasus perkosaan yang terjadi di seluruh belahan dunia, menurut [Michelle] Bachelet, disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap keadilan korban, dan menerapkan pidana mati kepada pelaku, tidak akan menyelesaikan masalah ini. Hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual justru akan menggeser fokus negara kepada hal yang tidak lebih penting dari korban," kata Erasmus.
"Ini adalah bentuk 'gimmick' yang diberikan sebagai kompensasi karena negara gagal hadir dan melindungi korban, sebagaimana seharusnya dilakukan. Sebagai konsekuensi dari hal ini, negara kemudian mencoba 'membuktikan diri' untuk terlihat berpihak kepada korban dengan menjatuhkan pidana-pidana yang 'draconian' (sangat berat) seperti pidana mati," sambung Erasmus.
Terdakwa kasus pemerkosaan 13 santriwati Herry Wirawan dituntut hukuman mati. Jaksa menilai hukuman itu sesuai dengan perbuatan Herry Wirawan. (Foto: Dony Indra Ramadhan/detikcom)
Penegakan hukum yang salah fokus
Eramus mengklaim bahwa pihak ICJR paham bagaimana kasus pemerkosaan belasan santriwati ini memang menyulut amarah publik yang berujung pada vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan tersebut. Namun menurutnya, kemarahan publik seharusnya bukan menjadi fokus utama dalam proses pemberian keadilan bagi para korban.
"Fokus utama kita seharusnya diberikan kepada korban, dan bukan kepada pelaku, dan hal ini yang seharusnya menjadi perhatian aparat penegak hukum dan juga hakim di dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Pengadilan yang saat ini sudah memiliki pedoman mengadili perkara perempuan, juga harus mulai berpikir progresif dengan memikirkan kebutuhan korban dan tidak hanya terjebak pada kemarahan pribadi yang tidak akan menolong korban sama sekali," jelasnya.
Kontradiksi vonis
Rasmus juga mengkritik putusan hakim terkait ganti kerugian atau restitusi (ganti rugi) yang dibebankan terhadap Herry sebagai bentuk upaya memberikan efek jera. Ia menilai logika berpikir hakim serupa dengan bagaimana restitusi dikonstruksikan di dalam perundang-undangan di Indonesia, dibuktikan dengan masih dijatuhkannya pidana pengganti jika restitusi tidak dapat dibayarkan oleh pelaku.
Herry Wirawan, pemerkosa santriwati dihukum mati. (CNNIndonesia.com/ANTARA FOTO/NOVRIAN ARBI)
Padahal, restitusi seharusnya diposisikan di dalam diskursus (wacana) hak korban, bukan pihak penghukumam terhadap pelaku.
Vonis Pengadilan Tinggi Bandung membatalkan vonis peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Bandung yang menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup terhadap Herry.
Selain vonis pidana mati, Herry juga diwajibkan membayar restitusi sebesar Rp300 juta lebih. Vonis ini menganulir putusan PN Bandung, yang sebelumnya membebaskan Herry dari hukuman pembayaran ganti rugi terhadap korban tersebut.
Jika mengikuti logika berpikir hakim, ujar Erasmus, maka hakim akan menghadapi pembatasan di dalam Pasal 67 KUHP yang melarang penjatuhan pidana tambahan lain kepada terdakwa yang dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup.
Maka dari itu, vonis terhadap Herry ini saling berkontradiksi. Seharusnya, hakim tidak menjatuhi vonis hukuman mati dan mewajibkan Herry membayar restitusi untuk mendanai pemulihan para korbannya.
"Hal inilah yang di dalam putusan lalu menjadi masalah bagi hakim di tingkat pertama, bahwa ketika hukuman yang maksimal sudah diberikan kepada pelaku, maka hukuman lain tidak dapat dijatuhkan. Maka dari itu, untuk mengatasi kekacauan ini, seharusnya hukuman mati tidak boleh dijatuhkan di dalam kasus apa pun, khususnya kekerasan seksual di mana korban membutuhkan restitusi untuk mendukung proses pemulihannya," pungkas Rasmus.
(Stefanus/IDWS)
Sumber: CNNIndonesia.com