Mengapa Warganet Indonesia cenderung Dukung Invasi Rusia ke Ukraina dan Bahkan Kagumi Sosok Vladimir Putin?
Berbeda dengan pandangan publik dunia yang mayoritas memihak Ukraina, publik Indonesia dilaporkan lebih mendukung invasi Rusia ke Ukraina dan mengagumi sosok Vladimir Putin.
IDWS, Selasa, 15 Maret 2022 - Perbincangan mengenai invasi Rusia ke Ukraina di media sosial selama hampir dua pekan ini didominasi oleh keberpihakan dan kekaguman publik Indonesia pada Rusia dan sosok Presiden Vladimir Putin, menurut platform pemantauan dan analisis digital Evello mengutip laporan BBC News Indonesia via Kompas.com pada Selasa (15/3/2022).
Sikap itu terbentuk karena, menurut kajian lembaga tersebut, didasari oleh ketidaksukaan sebagian besar masyarakat Indonesia pada Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Akan tetapi, peneliti Studi Rusia dan Eropa Timur, Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Radityo Dharmaputra, menilai sikap publik yang condong pro-Rusia ketimbang Ukraina ini sesungguhnya dikarenakan pemahaman masyarakat yang minim tentang Ukraina.
Kondisi ini menyebabkan publik mudah termakan narasi dominan dari kalangan elite dan akademisi yang menganggap persoalan ini merupakan konflik geopolitik antara Rusia dan Amerika Serikat. Data yang diperoleh Evello--platform pemantauan dan analisis digital--di Instagram, TikTok, Twitter, dan YouTube pada periode 23 Februari hingga 14 Maret 2022, terjadi peningkatan perhatian pengguna media sosial di Indonesia atas perang Rusia-Ukraina.
Hal itu ditunjukkan dengan jumlah pemberitaan tentang invasi Rusia ke Ukraina yang mencapai 96.000 artikel berita. Puluhan ribu berita tersebut, kata pendiri Evello Dudy Rudianto, dibagikan ke jejaring Facebook Indonesia, baik melalui akun halaman Facebook, grup, maupun akun pribadi sebesar 1,6 juta kali.
Dari data-data tersebut, Evello menyimpulkan bahwa intensitas perhatian pengguna media sosial Indonesia terkait perang Rusia-Ukraina sangat tinggi.
"Selain artikel berita, YouTube menjadi rujukan untuk mencari informasi perang Rusia-Ukraina," ujar Dudy Rudianto kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (14/3/2022).
Lebih terperinci, data Evello menunjukkan informasi tentang serangan militer Rusia ke Ukraina yang tayang di YouTube Indonesia telah ditonton sebanyak 554 juta kali dengan jumlah percakapan mencapai 2,3 juta komentar. Sementara itu, video Instagram perang Rusia-Ukraina telah dilihat 72 juta kali dengan komentar sebanyak 727.000. Kemudian di video TikTok, invasi Rusia ke Ukraina juga sudah ditonton 526 juta kali. Adapun di Twitter, terdapat 22.000 akun yang membicarakan perang ini.
Tiga sikap publik Indonesia atas perang Rusia-Ukraina
Dudy Rusdianto mengatakan, setidaknya ada tiga sikap yang ditunjukkan warganet terhadap serangan militer Rusia ke Ukraina. "Pertama, ketidaksukaan terhadap Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Amerika Serikat. Kedua, kekaguman pada sosok Presiden Vladimir Putin, dan terakhir adanya simpati kepada rakyat Ukraina dan Presiden Volodymyr Zelensy," papar Dudy. Namun demikian, dari empat platform media sosial yang diteliti mulai dari Twitter, YouTube, Instagram, dan TikTok, mayoritas warganet cenderung berpihak pada Rusia. Dudy mencontohkan Twitter, jumlah akun yang membicarakan Presiden Putin 71 persen lebih besar dibandingkan Zelensky. Percakapan yang mengemuka di Twitter, sambung Dudy, didasari oleh ketidaksukaan kepada NATO dan Barat.
Perbincangan tentang Presiden Putin pun, katanya, sangat dominan atau mencapai 94 persen oleh pengguna TikTok di Indonesia.
"Demikian halnya di Instagram, kecenderungan pengguna media sosial untuk memperbincangkan Putin cenderung dominan dibandingkan Zelensky sebesar 74 persen."
Pemantauan Evello, percakapan atas perang Rusia-Ukraina bersifat alami. Para pengguna yang menyatakan dukungannya terhadap Rusia dan Putin pun tidak ada yang dimotori oleh pendengung ataupun akun-akun palsu.
"Tidak ada akun bot yang bertebaran," tegas Dudy.
Mengapa warganet Indonesia berpihak pada Rusia?
Peneliti Studi Rusia dan Eropa Timur di Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Radityo Dharmaputra, mengatakan, ada empat faktor mengapa warganet Indonesia pro terhadap Rusia. Sejak lama, katanya, publik Indonesia memiliki sikap politik yang anti-Amerika Serikat atau anti-Barat terutama setelah perang melawan terorisme. Hanya saja, ketika media sosial belum populer, tidak banyak yang menunjukkan sikap tersebut secara terbuka semisal dengan aksi demonstrasi.
"Sekarang era media sosial, begitu ada berita, perasaan itu lebih mudah muncul dan langsung diutarakan," terang Radityo kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (14/3/2022).
Akan tetapi ,invasi Rusia ke Ukraina dipotret oleh publik Indonesia sebagai Rusia melawan Amerika Serikat atau NATO.
"Ukraina-nya jadi tidak penting."
Kondisi seperti itu, jelas Radityo, membuat masyarakat Indonesia seolah-olah berpihak pada Rusia. Padahal, menurutnya, tidak peduli siapa pun yang berseberangan dengan Amerika Serikat maka akan didukung.
"Jadi dukungan (ke Rusia) lebih ke situ. Perasaan bahwa AS dan Barat sudah semena-mena terutama kepada negara Islam. Sehingga, jika ada yang berani melawan AS dan Barat, mereka (publik Indonesia) mendukung."
Faktor kedua karena sosok Presiden Vladimir Putin yang dinilai tegas. Rakyat Indonesia, menurut Radityo, mudah terkesima dengan penampilan pemimpin yang tegas dan kuat karena mengingatkan citra itu pada mantan Presiden Sukarno.
"Apalagi romantisme dengan masa lalu Sukarno yang tegas anti-Barat sangat dominan. Image Putin terlihat seperti itu di mata masyarakat Indonesia. Apalagi dia mantan intelijen. Sementara Zelensky, komedian."
Presiden Rusia Vladimir Putin ketika memulai "operasi militer spesial" Rusia ke Ukraina, 24 Februari 2022. (YouTube)
Hal lain, didorong oleh sentimen agama. Meskipun di masa lalu Uni Soviet pernah menyerang Afghanistan, Suriah, dan Chechnya, tetapi kini Rusia--melalui diplomasi publik--mampu mengubah pandangan dari musuh menjadi sahabat kaum Muslim. Di Rusia, katanya, Islam menjadi agama terbesar kedua setelah Kristen Ortodoks. Bangunan masjid didirikan di banyak tempat.
"Hal itu dilihat oleh kelompok Islam di Indonesia. Makanya, banyak video atau artikel dalam bahasa Indonesia yang penontonnya jutaan dan menganggap Rusia adalah rekan bagi kelompok Islam."
Terakhir adalah diplomasi publik Rusia yang banyak memberikan beasiswa kepada ratusan mahasiswa untuk belajar ke negara itu. Yang menarik, katanya, narasi yang dikembangkan dari para lulusan penerima beasiswa itu atas invasi Rusia ke Ukraina, sama persis dengan Pemerintah Rusia.
"Bahwa apa yang dilakukan Rusia hanya operasi militer. Itu sudah menunjukkan keberpihakan posisi."
Parahnya, analisis yang pro-Rusia tersebut ditelan mentah-mentah oleh masyarakat Indonesia. Apalagi, pengetahuan publik Indonesia tentang apa yang melatari konflik Ukraina dengan Rusia sangat minim. Untuk diketahui, ketegangan di kawasan itu turut dipicu oleh sikap Rusia yang mengakui kemerdekaan dua wilayah di Ukraina, yakni Luhansk dan Donetsk.
"Jadi mudah sekali di balik narasinya dan sangat mudah menganggap ini hanya konflik geopolitik besar antara Rusia dengan Amerika Serikat. Kalau narasi di level elite dan akademisi seperti itu, ya terbayang dong di bawah yang enggak paham seperti apa. Termakan oleh narasi yang dominan itu."
Kepopuleran Kedutaan Besar Rusia daripada Ukraina pun, menurut dia, turut menyokong keberpihakan warga Indonesia. Radityo merujuk pada pengikut akun Kedutaan Besar Rusia di Indonesia @RusEmbJakarta dan interaksi percakapannya lebih besar ketimbang Kedutaan Besar Ukraina @UKRinINA.
"Sehingga begitu ada perang, mudah sekali simpati publik diberikan kepada yang mereka kenal atau lebih tahu."
Rakyat Indonesia dicap hipokrit
Bagi Radityo, sikap publik Indonesia yang tidak seragam membela korban invasi--seperti yang terjadi pada Palestina--berdampak pada hilangnya legitimasi moral sebagai bangsa.
"Kita enggak bisa lagi banyak komentar karena kita ragu-ragu ketika dihadapkan pada situasi begini dan masyarakat kita mudah sekali diubah posisinya karena keberadaan AS."
Lebih dari itu, posisi masyarakat Indonesia di mata dunia terkesan hipokrit. Sebab, publik akan cenderung peduli jika korban penindasan adalah kelompok Islam.
"Kalau bukan (kelompok Islam), kesannya tidak mendukung. Ini agak mengkhawatirkan."