Kasus Perbudakaan Bupati Langkat, Disinyalir Ada Korban Meninggal
Kasus perbudakan modern yang diitemukan di kediaman Bupati non-aktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin menguak hal yang mengerikan, indikasi adanya korban jiwa akibat praktik perbudakan tersebut.
IDWS, Senin, 31 Januari 2022 - Kasus ini pertama kali diungkap oleh Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care). Menurut Migrant Care, pihaknya menerima laporan adanya kerangkeng manusia serupa penjara, di dalam rumah Terbit. Diduga, kerangkeng itu digunakan sebagai penjara bagi para pekerja sawit yang bekerja di ladang bupati yang belakangan jadi tersangka suap itu.
Sementara, Terbit sendiri mengeklaim bahwa kerangkeng di rumahnya merupakan tempat pembinaan bagi warga Langkat yang menjadi penyalah guna narkotika. Dalam perkembangannya, ditemukan fakta-fakta baru mengenai kasus ini, baik yang diungkap oleh pihak kepolisian maupun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Korban meninggal
Berdasarkan penelusuran, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengungkap, kerangkeng Bupati Langkat digunakan sebagai tempat rehabilitasi pecandu narkoba. Namun demikian, terjadi kekerasan dalam kerangkeng tersebut hingga memakan korban jiwa. Diduga, ada lebih dari satu penghuni yang meninggal sejak kerangkeng itu didirikan pada 2012.
“Faktanya, kita temukan memang terjadi satu proses rehabilitasi yang cara melakukannya memang penuh dengan catatan kekerasan fisik sampai hilangnya nyawa," kata dia dalam jumpa pers di Markas Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara (Sumut), Sabtu (29/1/2022), seperti dikutip dari Kompas.com.
Anam menjelaskan, Komnas HAM telah menelusuri kasus kematian itu dan telah menemukan bukti-bukti yang kuat. Meninggalnya tahanan diduga karena mendapat penganiayaan. Penganiayaan tersebut disinyalir dilakukan secara terstruktur dan sistematis.
Cara merehabilitasi penuh dengan catatan kekerasan, kekerasan yang sampai hilangnya nyawa,” ucapnya, dikutip dari Kompas.com mengutip Tribun Medan.
Menurut Anam, fakta tersebut diperoleh dari pengakuan dan testimoni sejumlah warga yang diyakini pernah melihat peristiwa itu. Berdasarkan penuturan saksi, lanjut Anam, korban yang mendapat penganiayaan itu adalah mereka yang baru masuk kerangkeng selama empat sampai enam pekan pertama. Alasan penganiayaan disebut karena korban melawan.
"Jadi kami menelusuri, kami dapat (temuan korban meninggal). Temen-temen Polda menelusuri juga dapat (korban meninggal) dengan identitas korban yang berbeda," ungkapnya.
Anam menyebutkan, fakta adanya korban meninggal itu sangat solid. "Jangan tanya siapa namanya, jumlahnya, karena memang sedang berproses. Jadi faktanya (hilangnya nyawa korban) sangat solid," tuturnya.
Saat ditanya kapan terakhir ada korban meninggal dunia, Anam menjawab singkat. "Tidak sampai satu tahun (dari temuan ini)," terangnya.
Tidak semua yang dikurung pengguna narkoba
Penelusuran terkait kasus ini juga dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Berdasar informasi yang dihimpun dari lapangan, LPSK menyampaikan, tidak semua penghuni kerangkeng Bupati Langkat merupakan pengguna narkoba.
"Contohnya ada yang judi, ada yang tak setia sama istrinya, mencuri, jadi macam-macam. Makanya diksi rehabilitasi itu jauh dari kenyataan," kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu.
Temuan lainnya yakni para penghuni kerangkeng tidak bisa berkomunikasi dengan keluarganya melalui ponsel. Mereka juga tidak bisa menjalankan ibadah sebagaimana wajarnya.
Begini penampakan kerangkeng di belakang rumah Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin.(KOMPAS.com/DEWANTORO)
"Kami lihat ada sajadah, tapi kami tanya apakah boleh shalat Jumat, tidak boleh. Shalat ied, tak boleh. Kemudian yang nonmuslim apakah boleh ke gereja di hari Minggu, Natal dan misa, tak boleh," jelas Edwin.
Edwin mengungkapkan, pembatasan di kerangkeng manusia itu melampaui pembatasan yang terjadi dalam rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan milik negara.
"Tak ada pembatasan seperti itu, baik pada proses penyidikan, atau orang terpidana dalam sistem negara," kata dia.
Keluarga tak boleh menuntut
LPSK juga menemukan fakta bahwa pihak keluarga diminta untuk menandatangani surat perjanjian saat memasukkan anggota keluarga mereka ke kerangkeng Bupati Langkat. Edwin mengatakan, salah satu poin dalam surat perjanjian yakni keluarga tak boleh menjemput penghuni selama batas waktu yang ditentukan. Selain itu, pihak keluarga tak akan menuntut jika anggota keluarga mereka sakit atau meninggal dunia.
Menurut Edwin, surat bermaterai itu ditandatangani oleh pengurus sel dan pihak keluarga penghuni kerangkeng.
"Bahwa tak boleh dijemput, harus di situ satu setengah tahun dan bahkan jika sakit dan meninggal tidak bertanggung jawab dan dinyatakan dalam surat pernyataan tersebut pihak keluarga tidak akan menuntut apa pun," kata Edwin saat konferensi pers di Medan pada Sabtu (29/1/2022) siang, seperti dikutip dari Kompas.com.
Mengacu pada temuan tersebut, kata Edwin, kuat dugaan bahwa kasus ini mengarah pada tindak perdagangan orang.
"Jadi hal-hal tersebut menurut kami cukup menjadi satu petunjuk yang mengarah pada perdagangan orang," kata dia. Senada dengan Komnas HAM, LPSK juga menduga pernah ada penghuni yang meninggal di kerangkeng milik Bupati Terbit. Informasi ini berdasarkan aduan warga Langkat yang seorang anggota keluarganya meninggal saat berada di kerangkeng itu.
Peristiwa itu diduga terjadi pada 2019 lalu. Ketika keluarga mendatangi sel untuk menjemput korban, jenazah sudah dalam keadaan dimandikan dan dikafani untuk segera dikebumikan.
"Jadi dari pengakuan keluarga, korban meninggal karena alasan sakit asam lambung. Setelah satu bulan berada di dalam, pihak pengelola rutan menelepon bahwa keluarganya meninggal dengan alasan sakit," kata Edwin.
"Namun, pihak keluarganya mencurigai ada kejanggalan kematian keluarganya," tuturnya. Terkait hal ini, Kapolda Sumut Irjen Pol RZ Panca Putra Simanjuntak mengatakan, polisi terus melakukan penyelidikan. Ia menegaskan, tidak boleh ada orang meninggal tanpa kejelasan.
"Oleh sebab itu, kita akan berproses dan mendalami masalah ini kenapa sampai seperti itu. Mohon waktu dan kepercayaan teman-teman sekalian," kata Panca.
"Tentunya terus kita bekerja sama dengan semua stakeholder. Baik itu teman-teman Komnas HAM, dengan teman-teman lainnya, kita akan saling tukar menukar informasi untuk mendalami tindak pidana yang berkaitan dengan hilangnya nyawa orang ini," lanjut nya.