Ingin Netflix dan YouTube Tunduk Pada UU Penyiaran, 2 Stasiun TV Indonesia Gugat ke MK
Dua stasiun televisi RCTI dan iNews menggugat UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK)
IDWS, Jumat, 29 Mei 2020 - Kedua stasiun televisi tersebut meminta setiap siaran yang menggunakan internet seperti YouTube hingga Netflix tunduk pada UU Penyiaran, karena dikhawatirkan muncul konten-konten yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Melansir situs resmi MK pada Kamis (28/5/2020), permohonan gugatan itu ditandatangani oleh Dirut iNews TV David Fernando Audy dan Direktur RCTI, Jarod Suwahjo. Keduanya mengajukan judicial review Pasal 1 ayat 2 UUD Penyiaran yang berbunyi:
Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
"Bahwa apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak dimaknai mencakup penyiaran menggunakan internet, maka jelas telah membedakan asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran antar penyelenggara penyiaran. Konsekuensinya bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila, tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, tidak menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa," demikian bunyi alasan judicial review RCTI-iNews TV dalam berkas tersebut, seperti dikutip dari detikcom.
Dikhawatirkan bisa memecah belah bangsa
RCTI-iNews merupakan penyiaran berbasis spektrum frekuensi radio yang tunduk kepada UU Penyiaran. Tapi, di sisi lain, banyak siaran yang menyiarkan berbasis internet tidak tunduk pada UU Penyiaran. Akibatnya, konten siaran RCTI-iNews diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sedangkan konten siaran berbasis internet tidak ada pengawasan. Hal ini yang membuat RCTI-iNews khawatir.
"Bahkan, yang tidak kalah berbahaya, bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet memuat konten siaran yang justru memecah belah bangsa dan mengadu-domba anak bangsa," bebernya.
Menurut RCTI-iNews, rumusan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran a quo menimbulkan multi-interpretasi yang pada akhirnya melahirkan kontroversi di tengah publik. Keduanya mencontohkan pernyataan Ketua KPI Agung Suprio yang akan mengawasi YouTube dan Netflix tapi langsung menuai reaksi dari masyarakat.
"Polemik sebagaimana diungkapkan di atas menjadi fakta hukum yang membuktikan rumusan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran memang multitafsir. Hal tersebut tentu bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang dalam Putusan MK No. 067/PUU-II/2004 dikatakan kepastian hukum (legal certainty) merupakan prasyarat yang tidak dapat ditiadakan dalam suatu negara hukum," ujar pemohon.
Penyiaran adalah (kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.
"Penyelenggaraan penyiaran sebagai bentuk ekspresi kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi, baik itu secara konvensional maupun secara digital, harus mengindahkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yaitu wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis," pungkas RCTI-iNews.
Sumber: detikcom