Tenaga Medis yang Menangani Pasien Corona Dapat Stigma Negatif Dari Masyarakat, Dari Diteriaki Hingga Diminta Pergi Dari Kos
IDWS, Selasa, 24 Maret 2020 - Tenaga medis yang menangani pasien positif corona (COVID-19) di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur, mendapat stigma tidak mengenakkan dari lingkungan tempat tinggalnya. Mereka diminta meninggalkan kamar kos karena dianggap membawa virus corona ke lingkungan kos.
RSUP Persahabatan di Jakarta jadi rujukan pasien positif COVID-19. (Foto: Grandyos Zafna/detikcom)
"Kami mendapat laporan dari perawat itu bahwa ada teman-temannya tidak kos lagi di sana, di tempat kosnya. Karena setelah diketahui rumah sakit tempat bekerjanya tempat rujukan pasien COVID-19. Mereka sekarang, saya sudah tanya mereka, tinggalnya di rumah sakit dulu," kata Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia Harif Fadhilah, seperti dikutip dari detikcom,Selasa (24/3/2020).
Ia mengaku juga mendengar bahwa tak hanya para perawat, namun stigma tersebut juga diterima oleh dokter hingga koas, mahasiswa kedokteran, hingga mahasiswa spesialis di RS Persahabatan.
Akibatnya para perawat pun terpaksa tinggal untuk sementara waktu di RS Persahabatan sampai pihak manajemen rumah sakit menemukan tempat tinggal baru yang layak bagi mereka.
Jurnalis senior Sofie Syarief mewakili Harif Fadhillah mengungkapkan hal itu lewat akun Twitter-nya @sofiesyarief. Ia mengatakan bahwa sejumlah perawat dan dokter saat ini mulai menjadi sasaran stigma warga.
"Tadi Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Pak Harif Fadhillah bilang perawat (dan dokter) mulai jadi sasaran stigma warga," tulis @sofiesyarief di Twitter.
"Beberapa cerita masuk soal upaya pengusiran oleh tetangga karena dianggap jadi pembawa virus. Bahkan anak-anak [tenaga medis] jadi sasaran," lanjutnya.
Jurnalis kawakan dan produser berita Kompas TV itu juga mengatakan bahwa ia mendapatkan beberapa cerita tentang upaya pengusiran sejumlah tenaga medis karena dianggap membawa virus.
Cuitan jurnalis senior Sofie Syarief mengenai petugas medis yang terkena stigma corona. (Twitter/@sofiesyarief)
Cuitan itu mengundang berbagai reaksi dari netizen Indonesia, bahkan ada juga yang membagikan cerita serupa. Seperti cerita dari akun @pputri707.
"Kakakku perawat dan ada temannya yang sesama perawat harus dirumahkan buat isolasi karena ada kontak sama pasien corona dan selama isolasi banyak ibu-ibu gosipin dia bahkan anak-anak mereka terang-terangan ke depan rumahnya cuma buat teriakin dia 'CORONA'," tulis @pputri707 dikutip dari suara.com.
Stigma berpotensi menghambat penanganan wabah corona
Harif memahami masyarakat takut tertular virus Corona (COVID-19), namun dia menilai masyarakat perlu diberi pemahaman penularan virus Corona terjadi melalui percikan air liur, bukan udara, sehingga physical distancing cukup dapat mencegah.
"Kecewa dan menyayangkan. Tentu harus terus kita edukasi bahwa paparan COVID-19 ini kan pada droplet, bukan dari udara, tapi percikan. Selama kita bisa lakukan physical distancing, itu salah satu pencegahannya. Kalau itu bisa dilakukan di kosan, kenapa harus takut," tutur Harif.
Tim Medis RSPI Sulianti Saroso. (Foto; Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO)
Harif juga mendorong pihak manajemen rumah sakit-rumah sakit rujukan pasien Corona (COVID-19) untuk menyediakan rumah singgah bagi tenaga medisnya. Selain untuk menghindari tim medis menjadi korban stigma, rumah singgah dinilai bisa jadi solusi saat terjadi eskalasi kasus pasien Corona.
Ia menilai bahwa dalam situasi wabah, tenaga medis jarang kembali ke tempat tinggal karena harus melayani pasien. Namun saat ini tak ada juga fasilitas rumah singgah dari pihak rumah sakit untuk mereka melepas lelah.
Menurut dia, kesiapsiagaan dan kesehatan petugas medis adalah hal yang penting. Untuk itu, manajemen rumah sakit harus juga menjalankan protap 14 hari kerja dan 14 hari istirahat untuk tenaga medisnya.
"Kalau sistem di Wisma Atlet itu kalau saya lihat dalam 28 hari kerja, 14 hari kerja, 14 istirahat. Itu penting saya kira kalau kita mau jaga kesiapsiagaan, kesehatan para petugas medis di situ. 14 hari kerja, 14 hari masuk itu kan sesuai protap pedoman nasional. Cuma masalahnya kalau itu dilakukan, siapa lagi (tenaga medis) yang ada. Ada plus-minusnya," ujar Harif.