Anak Kecil yang Bekerja Sebagai Joki Kuda Balap Tewas di NTB, Bentuk Eksploitasi Anak Atas Nama Tradisi
IDWS, Kamis, 31 Oktober 2019 - Seorang joki anak di Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), tewas saat mengikuti lomba pacuan kuda, pertengahan Oktober lalu.
Peristiwa ini mendorong para pegiat perlindungan anak untuk menyuarakan penghentian praktik pelibatan anak-anak sebagai joki dalam pacuan kuda di NTB. Di sisi lain, pemerintah dan sebagian masyarakat setempat kerap menempatkan aktivitas joki cilik sebagai warisan budaya nenek moyang.
Seorang anak menunggang kuda dalam pacuan di Festival Moyo, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, tahun 2015 silam. (ULET IFANSASTI/GETTY IMAGES)
M. Sabila Putra jatuh tersungkur setelah kehilangan kendali tali kekang kuda saat mengikuti pacuan kuda tradisonal Sambi Na'e di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, Senin (14/10). Saat terjatuh, tubuh mungil bocah 10 tahun itu sempat tertindih kuda. Kepalanya terluka parah.
Sabila menemui ajal saat menjalani perawatan di rumah sakit. Kematiannya menjadi catatan hitam dalam ajang lomba pacuan kuda dengan joki anak yang memperebutkan piala Wali Kota Bima pada acara Hari Jadi TNI ke-74.
Samsul, ayah Sabila, mengenang anaknya dengan wajah lesu. Petani dari Desa Roka ini mengaku, Sabila mulai belajar penunggang kuda sejak tahun ini atas kemauan sendiri.
Dilatih pamannya seminggu dua kali, Sabila terkadang mengorbankan waktu bersekolah.
"Prestasinya bagus di sekolah. Kadang-kadang kalau dia ikut pacuan, dia lapor ke sekolah. Jadi minta izin sama bapak kepala sekolah," kata Samsul kepada wartawan di Bima, Akhyar M Nur, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Orangtua M Sabila Putra, Samsul (kanan) dan Sulastri (kiri). (AKHYAR M NUR)
Sabila sudah mengikuti lomba pacuan kuda sampai lima kali tahun ini. Kata Samsul, tiap kali pacuan, Sabila bisa mendapatkan uang jasa sebagai joki "sekitar Rp6 juta".
Namun, dalam pacuan berikutnya Samsul sudah tak bisa lagi melihat anaknya pulang. Jangankan membawa uang, senyum dan tawanya ketika meraih kemenangan tidak akan terlihat lagi.
"Kalau kecewa ya kecewa, namanya anak tapi apa boleh buat kalau sudah takdirnya dia," katanya.
Tanpa standar keamanan
Fauzi, tetangga Samsul, mengatakan kematian Sabila disebabkan minimnya peralatan keamanan saat berkuda.
"Dulu sempat ada helm, sekarang tidak ada karena kadang-kadang suka hilang. Dipakai joki lain dan tidak dikembalikan, dan sekarang tidak lagi pake peralatan selain baju ban (rompi) saja," katanya.
Mendiang M Sabila Putra semasa hidup. (BBC News Indonesia/Dok. Pribadi)
Meski tanpa standar pengamanan yang memadai, setiap kali lomba pacuan kuda berlangsung, ratusan joki cilik ikut dari sejumlah daerah di NTB.
"Di masing-masing daerah seperti dari Bima, Dompu, Sumbawa sekitar 30 orang," tambah Fauzi.
Kebiasaan ini tak bisa dibendung. "Joki cilik ini memang turun temurun sejak nenek moyang kita dulu hobi kuda, joki cilik ini sudah menjadi tradisional budaya masyarakat Bima pada umumnya," kata Fauzi.
Bukan tradisi nenek moyang
Namun, budayawan dari Bima, NTB, Alan Malingi punya catatan khusus tentang sejarah joki cilik penunggang kuda di daerahnya.
Menurut Alan, pacuan kuda digelar dalam rangka merayakan ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina pada 1927 pada era Kesultanan Bima yang telah dipersiapkan dua tahun sebelumnya.
Pacuan kuda di Bima, NTB, menggunakan joki anak sejak perayaan ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina pada 1927 di era Kesultanan Bima, menurut budayawan Bima. (ANTARA/AHMAD SUBAIDI)
"Pada awalnya pacuan kuda tradisional di Bima ini tidak menggunakan joki cilik, jokinya adalah remaja dan dewasa. Namun pada perkembangannya joki cilik ini mulai digunakan sejak tahun 1970an," kata Alan.
Menjadikan bocah sebagai penunggang pacuan kuda, dalam pandangannya, merupakan eksploitasi anak atas nama tradisi di NTB.
Dia menuturkan, setiap kali pacuan terdapat 700 kuda yang berlaga dengan joki sebanyak 15 anak. Artinya seorang joki cilik bisa menunggang 40-50 kuda dalam setiap perlombaan sejak pagi hingga sore.
"Dan kejadian kemarin (Sabila), kecelakaan di pacuan kuda terjadi pada sore hari, pukul lima sore. Berarti anak ini sudah menunggang beberapa kuda," kata Alan. Apalagi, selama musim pacuan, mereka tidak bersekolah.
"Karena memang ada bayaran dalam setiap arena pacuan kuda untuk joki ini, terpaksa anak-anak ini meninggalkan sekolah, untuk mencari uang," lanjut Alan.
Korbankan masa depan anak
Kematian joki cilik M. Sabila Putra ikut membetot perhatian elemen masyarakat sipil di NTB yang tergabung dalam "Koalisi Save Joki Anak". Salah satu anggota koalisi, Joko Jumadi, menilai tradisi ini bukan hanya bersifat eksploitatif, tapi juga mengorbankan masa depan anak-anak.
Seorang joki cilik bisa menunggang 40-50 kuda dalam setiap perlombaan, sejak pagi hingga sore. (ANTARA/AHMAD SUBAIDI)
"Yang menjadi catatan adalah banyak anak-anak yang kemudian menjadi cacat karena menjadi joki anak karena terjatuh, karena standar keamanannya rendah," kata Joko kepada wartawan BBC News Indonesia, Jerome Wirawan.
Pacuan kuda dengan joki anak di NTB, menurut pengamatan Joko, berbeda dengan lomba serupa di luar negeri. "Karena pacuan kuda di pulau Sumbawa yang menjadi juara bukan jokinya, tetapi yang menjadi juara itu kudanya dan si pemilik kuda," katanya.
"Jadi si joki ini tetap sama, dia paling dapat Rp50 ribu sampai Rp300 ribu sekali naik (kuda) pacuan itu," tambah Joko.
Berdasarkan catatan koalisi, rata-rata usia joki cilik sembilan tahun. Mereka juga berpacu kuda tanpa menggunakan pelana, sepatu dan pelindung kepala.
"Seringkali kalau terjadi kecelakaan, ya sudah cacat, tidak ada asuransi, tidak ada jaminan buat mereka," kata Joko.
Menurut Joko, tradisi pacuan kuda dengan joki anak sudah seharusnya dihentikan dan dievaluasi. Jika ingin tetap mempertahankan tradisi ini, maka syarat dan ketentuannya diperketat. Misalnya, pacuan kuda hanya berlaku untuk joki dewasa dengan standar keamanan yang mumpuni.
"Pacuan kuda adalah olahraga yang berbahaya untuk anak-anak, mau tidak mau kita harus berpikir, hentikan dulu lah," kata Joko.
Segera diatur
Feri Sofiyan, Wakil Wali Kota Bima yang juga menjabat Ketua Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi) Kota Bima, mengaku pihaknya menggodok aturan joki cilik dalam pacuan kuda. Kata dia, aturan ini berangkat dari kematian Sabila.
Pegiat perlindungan anak menilai tradisi joki anak bukan hanya bersifat eksploitatif, namun juga mengorbankan masa depan anak-anak. (ULET IFANSASTI/GETTY IMAGES)
"Kita dari Pordasi akan coba merumuskan regulasi yang bisa memberikan keamanan, kenyamanan terhadap pacuan kuda ini," katanya saat dihubungi BBC News Indonesia, Selasa (29/10).
Feri Sofiyan mengatakan aturan tersebut meliputi standar keamanan, pembatasan usia joki, asuransi kecelakaan, hingga mendirikan sekolah pacuan kuda.
"Dalam artian, joki-joki yang ada di pacuan akan kita latih, di sekolah dengan mengambilkan guru-guru privat," katanya.
Aturan ini akan dikeluarkan Pordasi NTB, sehingga mengikat seluruh perlombaan pacuan kuda di provinsi ini. Namun, belum diketahui kapan aturan ini akan diberlakukan.
"Saya pikir ini sebentar saja. Sebelum dilaksanakan pacuan di Lombok Tengah yang diadakan oleh gubernur. Pokoknya sebelum ada pacuan kuda berikutnya. Itu sudah lahir (aturannya)," kata Feri.
Kemudian terkait dengan batasan usia joki, Feri juga belum bisa memastikan. "Itu belum disepakati secara real berapa," katanya.
Selama aturan ini diproses, baik Pordasi maupun Pemkot Bima memastikan tidak mengeluarkan moratorium atau penghentian sementara pacuan kuda dengan joki cilik. "Ndak ada," pungkas Feri.