Iuran BJPS Naik 100 Persen Mulai Januari 2020 Untuk Golongan Mandiri I dan II
IDWS, Selasa, 3 September 2019 - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tetap bersikukuh untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan kelas I dan II mulai awal tahun mendatang.
Melansir CNNIndonesia.com, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menuturkan besaran kenaikan sesuai dengan usulan Kementerian Keuangan sebesar 100 persen dari iuran semula, yang berarti besaran iuran untuk golongan mandiri I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per orang setiap bulannya, sedangkan kelas mandiri II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu per orang setiap bulannya.
Untuk kelas mandiri III, usul kenaikan iurannya masih mendapat penolakan dari Komisi IX dan XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dikarenakan masih adanya permasalahan data Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sebelumnya, Kemenkeu mengusulkan iuran mandiri kelas III dinaikkan dari Rp 25 ribu menjadi Rp 42 ribu per orang setiap bulannya.
Disinyalir masih ada para peserta yang tergolong masyarakat mampu namun masuk dalam kategori PBI. Sedangkan peserta yang layak memperoleh bantuan justru belum bisa menikmatinya. Anggota dewan meminta pemerintah dan BPJS Kesehatan membereskan permasalahan data tersebut alias data cleansing.
Mardiasmo tak menampik bahwa kenaikan iuran BPJS memang untuk menanggulangi neraca PT Askes yang terus mengalami defisit. Tahun ini, Kemenkeu memproyeksikan BPJS Kesehatan berpotensi defisit hingga Rp 32,8 triliun, yang dapat ditekan hingga Rp 14 triliun apabila iuran peserta PBI naik mulai Agustus 2019.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris menuturkan defisit tahun 2020 diprediksi mencapai angka Rp 39,5 triliun, 2021 sebesar Rp 50,1 triliun, 2021 menjadi Rp 58,6 triliun, 2023 naik lagi menjadi Rp 67,3 triliun dan Rp 77 triliun pada 2024 bila tidak adanya kenaikan iuran.
Kecurangan dalam JKN
Selain terkait naiknya biaya iuran, BJPS Kesehatan juga mengakui adanya kecurangan atau fraud dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diketahui lewat hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan kecurangan tersebut telah mengakibatkan kesenjangan (gap) antara premi yang dibayar peserta dengan biaya orang per orang per bulan makin melebar.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memang mengatakan keberadaan peserta BPJS Kesehatan 'sakit' yang hanya ikut program saat butuh perawatan memang turut memberi sumbangan ke pelebaran defisit keuangan pelaksana Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut. Peserta jenis ini biasanya hanya membayar iuran ketika sakit dan membutuhkan jaminan biaya kesehatan.
Namun, begitu sehat, mereka tidak lagi membayar iuran kepesertaan BPJS Kesehatan. Bendahara negara mengungkap hal ini ia uangkap berdasarkan hasil temuan dan audit yang telah dilakukan oleh BPKP.
Bahkan, menurutnya, ada kalangan peserta yang sebenarnya sudah jelas-jelas tidak aktif lagi, namun begitu menggunakan kartu BPJS Kesehatan, rupanya masih bisa mendapatkan klaim. Walhasil, ada biaya layanan kesehatan yang ditanggung perusahaan, padahal peserta sudah tidak aktif.
Untuk mengatasi masalah fraud tersebut, Fachmi mengatakan pihaknya menerapkan beberapa kebijakan. Salah satunya, merekam sidik jari peserta untuk peserta yang mendaftar. "Ini untuk mengeliminasi fraud," katanya.
Selain kebijakan tersebut, pihaknya juga melakukan audit berkala. Sedangkan untuk meningkatkan kepatuhan peserta, khususnya dari golongan pekerja bukan penerima upah, pihaknya akan menerapkan kewajiban setor iuran secara autodebet.
(Stefanus/IDWS)
Sumber: CNNIndonesia.com