Seorang Pemuda Mojokerto Dijatuhi Hukuman Kebiri Pertama Sejak Perppu Diresmikan Presiden Jokowi
IDWS, Selasa, 27 Agustus 2019 - Seorang pemuda asal Dusun Mangelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaen Mojokerto Jawa Timur bernama Muh Aris (20) dijatuhi hukuman kebiri kimia lantaran terbukti memerkosa 9 anak. Namun dari pengakuannya, diduga korbannya telah mencapai 11 anak. Hanya saja baru satu korban yang melapor, yakni orangtua seorang anak TK. Melansir TribunNews, aksi bejat korban itu mengakibatkan alat kelamin bocah yang masih TK itu berdarah.
Menurut putusan pengadilan, terpidana kasus pelecehan dan kekerasan anak itu juga arus mendekam di penjara selama 12 tahun plus denda Rp 100 juta subsidier 6 bulan kurungan.
Dilansir dari Kompas.com, Kasi Intel Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, Nugroho Wisnu mengungkapkan bahwa putusan pidana tersebut sudah inkrah berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya. Vonis hukuman tersebut tertuang dalam Putusan PT Surabaya dengan nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY, tertanggal 18 Juli 2019 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto.
Kasus perkosaan terhadap 9 anak itu memang disidangkan di PN Mojokerto. Terdakwa Muh Aris divonis bersalah melanggar Pasal 75 D juncto Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Putusan terkait perkara yang menjerat Aris tertuang dalam Putusan PN Mojokerto Nomor 69/Pid.sus/2019/PN.Mjk, tertanggal 2 Mei 2019.
Pada awalnya, pihak Jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman penjara 17 tahun dan denda Rp 100 juta, subsidier 6 bulan kurungan, namun tidak menyertakan hukuman kebiri dalam tuntutan itu. Munculnya hukuman kebiri merupakan pertimbangan dan keputusan para hakim di Pengadilan Negeri Mojokerto. Begitulah penjelasan Wisnu.
Wisnu menambahkan, putusan perkara perkosaan yang menjerat Aris naik banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya. Di sana, JPU menilai putusan 12 tahun penjara yang dijatuhkan hakim PN Mojokerti dinilai terlalu ringan dibanding tuntutan yang diajukan jaksa. Pengadilan Tinggi Surabaya akhirnya menjatuhkan putusan yang memperkuat putusan PN Mojokerto.
"Kalau untuk pidana kurungannya sudah bisa dilakukan eksekusi. Namun, untuk kebiri kimia, kami masih mencari rumah sakit yang bisa," kata Wisnu.
Muh Aris sebelumnya didakwa melakukan perkosaan terhadap 9 anak gadis di wilayah Kabupaten dan Kota Mojokerto, Jawa Timur. Sehari-hari, ia bekerja sebagai tukang las. Aksi bejat pemuda itu dilakukan sejak 2015 dengan modus menari korban dengan kriteria anak gadis, sepulang dari bekerja.
Aksi bejat itu ia lakukan di tempat sepi, salah satunya pada Kamis (25/10/2018) yang terekam CCTV, yang ia lakukan di wilayah Prajurit Kulon Kota Mojokerto sekaligus merupakan aksi bejat terakhirnya sebelum diringkus polisi pada 26 Oktober 2018.
Kebiri Kimia
Secara umum, ada dua teknik kebiri. Pertama, kebiri fisik, dan kedua, kebiri kimiawi. Kebiri fisik dilakukan dengan cara melakukan amputasi pada organ seks eksternal pemerkosa. Hal ini akan membuat yang bersangkutan berkurang hormon testosteronnya sehingga mengurangi dorongan seksial.
Sementara, kebiri kimia atau kebiri kimiawi dilakukan dengan cara memasukkan zat kimia anti-androgen ke tubuh seseorang. Tujuannya, mengurangi produksi hormon testosteron. Efek akhirnya sama seperti kebiri fisik.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Wimpie Pangkahila menyebutkan, kebiri kimia asalnya dari kata obat yang bersifat anti hormon testosteron. Mengutip Harian Kompas, 14 Mei 2016, melalui obat ini, pelaku diharapkan kehilangan dorongan seksual sehingga tidak ingin dan tidak mampu lagi melakukannya.
Meski demikian, dorongan seksual ini sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh hormon testosteron. Ada faktor lain yang mendorongnya, yaitu pengalaman seksual sebelumnya, kondisi kesehatan, dan faktor psikologis soal fungsi seksual.
Oleh karena itu, meski diberikan obat anti testosteron, keinginan melakukan hubungan seksual belum tentu akan hilang sama sekali.
"Testosteron adalah hormon dalam tubuh kita yang antara lain berfungsi pada sekualitas. Pada pria hormon ini bisa membangkitkan libido. Jadi kalau hormonnya dikurangi, maka gairah seks akan berkurang," ujar Wimpie, seperti diberitakan Kompas.com, 10 Juni 2016.
Ia memaparkan, pemberian obat antitestosteron menimbulkan efek samping antara lain kekuatan otot menurun, osteoporosis, anemia, lemak meningkat, dan penurunan fungsi kognitif.
Dari sejumlah efek samping di atas bisa memunculkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Kebiri kimiawi juga bisa membuat pria mengalami infertilitas atau ketidaksuburan.
Pria yang diberikan obat antiandrogen berpotensi mengalami kemandulan karena kemungkinan tidak memiliki sel spermatozoa. Efek dari obat antitestosteron juga bersifat sementara. Gairah seksual bisa kembali muncul jika pemberian obat tersebut dihentikan.
Pro kontra hukuman kebiri
Saat masih menjadi wacana, hingga keluarnya Perppu Kebiri dan disahkan DPR menjadi UU, hukuman kebiri kimia menimbulkan pro dan kontra.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan sikap menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia.
Pada Juli 2016, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Mohammad Faqih mengatakan, kebiri kimiawi sebaiknya dilakukan dalam perspektif rehabilitasi.
IDI berpandangan, jika tujuannya rehabilitasi, hasilnya akan lebih efektif.
Kebiri kimia dianggap belum tentu menyembuhkan predator seksual dari kelainan yang dideritanya.
"Dan jika kebiri kimiawi dilakukan dalam perspektif rehabilitasi, kami dari IDI dengan sukarela jadi eksekutornya," kata Daeng, seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com, 25 Juli 2016.
IDI berpendapat, menjadikan kebiri sebagai hukuman berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku.
Pada jumpa pers, 9 Juni 2016, Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis mengatakan, pelaksanaan hukuman kebiri oleh dokter dianggap melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
"Kami tidak menentang perppu mengenai tambahan hukuman kebiri. Namun, eksekusi penyuntikan janganlah seorang dokter," ujar Marsis kala itu.
Ia menegaskan, IDI mendukung kebijakan pemerintah untuk memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kekerasan seksual pada anak.
Akan tetapi, menolak dilibatkan dalam pelaksanaan hukuman kebiri atau menjadi eksekutor.
Penolakan juga datang dari sejumlah pihak, di antaranya aktivis HAM yang menganggap hukuman kebiri melanggar hak asasi manusia.
Sementara itu, pemerintah menyatakan, penerapan hukuman kebiri tidak akan dilakukan terhadap pelaku yang masih anak-anak, tetapi yang sudah dewasa.
Mekanisme pemberian hukuman kebiri dilakukan melalui suntikan kimia bersamaan dengan proses rehabilitasi.
Pada 26 Mei 2016, Deputi Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Sujatmiko, mengatakan, proses rehabilitasi untuk menjaga pelaku tidak mengalami efek negatif lain selain penurunan libido.
Suntikan kimia juga tidak bersifat permanen dan efeknya hanya muncul selama tiga bulan.
Pelaku akan mendapatkan suntikan kimia secara berkala melalui pengawasan ketat oleh ahli jiwa dan ahli kesehatan.
(Stefanus/IDWS)
Sumber: Kompas.com, TribunNews
Foto: Surya.co.id/Danendra Kusuma/Febrianto