Medsos Mahasiswa Akan Dipantau Kemenristekdikti
IDWS, Minggu, 28 Juli 2019 - Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan mendata nomor telepon dan media sosial milik mahasiswa, dosen, dan pegawai pada awal tahun kalender akademik 2019/2020. Pendataan ini dilakukan untuk menjaga perguruan tinggi dari paparan radikalisme dan intoleransi.
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Muhammad Nasir mengatakan, pihaknya tidak akan memantau media sosial satu per satu setiap hari. Pendataan dilakukan agar Kemenristekdikti mudah melakukan pelacakan dari media sosial apabila terjadi permasalahan terkait radikalisme.
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir (Antara/Wahyu Putra A/Rei)
"Kalau ada masalah, baru kita lacak. Misalnya, ada indikasi bahwa seseorang punya jaringan ke organisasi tertentu. Yang kami atur adalah jangan sampai dia menyebarkan radikalisme dalam kampus, intoleransi yang dikembangkan. Itu enggak boleh. Kalau terjadi hate speech begitu, itu bukan urusan saya," kata Nasir dalam konferensi pers penerimaan mahasiswa baru di kantor Kemenristekdikti pada Jumat (26/7/2019) dikutip dari Republika.co.id.
Dari pernyataan tersebut, dapat diartikan bahwa yang diawasi oleh Kemenristekdikti hanyalah terkait radikalisme dan intoleransi. Sedangkan kebebasan mahasiswa dalam mengekspresikan diri di media sosial tidak akan diatur lebih jauh oleh pihaknya.
Kemenristekdikti akan bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menjaga kampus dari radikalisme dan intoleransi. Mahasiswa yang terdeteksi melakukan radikalisme atau intoleransi akan diberikan edukasi lewat pemanggilan rektor kampusnya, tidak semerta-merta dikeluarkan.
Ia menjelaskan upaya mencegah dan menangkal penyebaran radikalisme bisa dilakukan melalui pembelajaran tentang wawasan kebangsaan dan bela negara. Perguruan tinggi juga dapat membentuk organissi kemahasiswaan untuk pembinaan ideologi Pancasila.
"Saya harapkan di kampus ada atau kegiatan kelompok mahasiswa, dalam hal ini pengenalan pembinaan ideologi bangsa ini," ujarnya.
Mahasiswa juga bisa mengambil peran dalam pembinaan ideologi bangsa terhadap teman sebaya dengan bimbingan dari rektor atau direktur politeknik. "Jangan sampai terjadi radikalisme yang marak pada saat sekarang. Ini harus kita jaga betul bahwa kampus adalah ranah akademik yang baik," kata Nasir.
Perguruan tinggi, kata Nasir, bertanggung jawab melaksanakan pembinaan ideologi Pancasila bagi mahasiswa dalam kegiatan kemahasiswaan, termasuk meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan empat konsensus dasar berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.
Selain itu, perguruan tinggi diminta melakukan upaya penanaman wawasan kebangsaan, kesadaran bela negara, pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba, pencegahan penyebaran radikalisme, serta menumbuhkan sikap antikorupsi dan antiplagiarisme.
Temuan kampus
Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Polisi Hamli mengatakan, salah satu sumber radikalisme di lingkungan kampus adalah jenjang pendidikan di bawahnya. "Dari SMA-nya, mereka sudah terpapar," ujar Hamli, Kamis (25/7).
Ia menyebutkan, ada salah satu kampus di Jawa Timur yang 70 persen mahasiswanya berasal dari sumber yang terindikasi terpapar radikalisme. Namun, Hamli tak mengungkapkan nama kampus tersebut.
Hamli meminta data yang disampaikannya tidak ditanggapi secara reaktif, terutama oleh kalangan kampus, sebagaimana dahulu sewaktu BNPT mengungkap temuan radikalisme di sejumlah perguruan tinggi negeri di Indonesia.
"Dahulu rektornya marah semua. Asal data BNPT dipertanyakan. Akan tetapi, ini hasil pengamatan lapangan. Setelah dijelaskan detailnya, mereka baru sadar dan ramai-ramai bergerak melakukan penanggulangan," ujar Hamli.
Ia mengingatkan pentingnya keterlibatan kalangan kampus dan lingkungan sekitarnya dalam pencegahan terorisme. Hal itu, menurut dia, akan menjadi sebuah sinergi nyata dalam upaya penanggulangan terorisme.
"Pendekatan keras dalam penanggulangan terorisme sebenarnya tidak perlu dilakukan. Penanggulangan terorisme akan efektif jika dilakukan dengan pendekatan lunak. Hal itu membutuhkan keterlibatan masyarakat," ujar Hamli.
(Stefanus/IDWS)
Sumber: Republika.co.id