Bank Dunia Ganti Perhitungan Daya Beli Penduduk, Jumlah Rakyat Miskin di Indonesia Naik 13 Juta Jadi Total 27 Juta Orang
Bank Dunia (World Bank) mengubah ketentuan baru mengenai hitungan paritas daya beli (purchasing power parities/PPP) untuk memantau kemiskinan Internasional pada musim gugur 2022. Hal ini membuat sebanyak 13 juta orang kelas menengah bawah di Indonesia jatuh miskin.
IDWS, Kamis, 29 September 2022 - Mengutip laporan Bank Dunia bertajuk 'East Asia and The Pacific Economic Update October 2022: Reforms for Recovery', Kamis (29/9/2022), basis perhitungan baru itu berdasarkan PPP 2017. Sementara basis perhitungan yang lama adalah PPP 2011.
Mengacu PPP 2017, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan ekstrem menjadi US$ 2,15 atau Rp 32.755 per orang per hari (asumsi kurs Rp 15.235). Sebelumnya garis kemiskinan ekstrem di level US$ 1,90 per orang per hari.
Akibatnya, batas kelas penghasilan menengah ke bawah (lower middle income class) naik dari US$ 3,20 menjadi US$ 3,65 per orang per hari. Batas penghasilan kelas menengah ke atas (upper middle income class) juga naik dari US$ 5,50 menjadi US$ 6,85 per orang per hari.
Dengan perhitungan baru ini, sebanyak 33 juta orang kelas menengah bawah di Asia turun kelas menjadi miskin. Indonesia dan China menjadi negara dengan penurunan kelas menengah bawah dan atas terbanyak.
Tercatat ada 13 juta orang kelas menengah bawah di Indonesia yang turun level menjadi miskin. Sementara di China sebanyak 18 juta orang kelas menengah bawah turun kelas menjadi miskin.
Ilustrasi warga miskin. (SiNDOnews/Wawan Bastian)
Untuk kelas menengah atas di Indonesia, ada 27 juta orang yang turun kelas. Sedangkan orang kelas menengah atas di China yang turun kelas mencapai 115 juta orang. Secara keseluruhan ada 174 juta orang kelas menengah atas di Asia yang turun kelas.
Bank Dunia mencatat garis kemiskinan untuk menentukan kelas menengah diambil dengan menggunakan median dari garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah ke bawah dan menengah ke atas. Faktor penting dari perubahan ini adalah karena berubahnya tingkat harga di negara tersebut terutama Amerika Serikat (AS).
"Harga yang relatif lebih tinggi menyiratkan penurunan daya beli sehingga menghasilkan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi," tulis Bank Dunia.
Artikel Asli: detikcom