Unjuk Rasa Pro Demokrasi Myanmar Berujung Tragedi Berdarah
Unjuk rasa akan kudeta militer di Myanmar berujung pertumpahna darah setelah para pengunjuk rasa ditembaki oleh pihak militer dengan peluru asli dan menimbulkan korban puluhan jiwa.
IDWS, Kamis, 4 Maret 2021 - Setidaknya, 38 orang dilaporkan meninggal pada unjuk rasa hari Rabu (3/3/2021) di Myanmar, menurut laporan utusan khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) seperti dilansir dari The Age.
Ribuan warga Myanmar turun ke jalanan demi memprotes aksi kudeta yang dilakukan oleh pihak militer Myanmar pada 1 Februari 2021 dengan menculik pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan anggota-anggota senior partainya (Partai Liga Nasional untuk Demokrasi atau NLD), termasuk presiden terpilih Myanmar, Win Myint yang menjadi terpilih menjadi presiden baru dalam pemilu akhir tahun 2020.
Para pengunjuk rasa berbaring di jalanan setelah kepolisian Myanmar membuka tembakan untuk membubarkan unjuk rasa di Mandalay, Myanmar, 3 Maret 2021. (Foto: REUTERS/Stringer)
Semakin hari, unjuk rasa pro demokrasi itu semakin intens, dan begitu pula dengan reaksi dari pihak militer. Sampai pada akhirnya pihak militer menembaki para pengunjuk rasa dengan peluru asli, gas air mata, dan flash bang dan granat kejut dalam beberapa hari terakhir menurut laporan CNN.com.
Foto-foto dan rekaman video dari tragedi penembakan terhadap pengunjuk rasa pada Rabu (4/3/2021) beredar di internet memperlihatkan genangan darah dan para pengunjuk rasa yang lari ketakutan.
Seorang pengunjuk rasa menggunakan tabung pemadam api dalam unjuk rasa di Yangon, Rabu, 3 Maret 2021. (Foto: CNN.com)
"Hari ini adalah hari paling berdarah sejak kudeta [Myanmar] terjadi," kata Utusan Khusus PBB Christine Schraner Burgener pada Rabu (3/3/2021). Setidaknya, sekitar 1.200 orang juga ditangkap oleh pihak militer dan keluarga dari orang-orang yang ditangkap itu bahkan tidak tahu di mana mereka ditahan. PBB juga menyebutkan bahwa jumlah korban jiwa telah naik menjadi 50 orang.
Menurut laporan Reuters, pihak militer Myanmar juga mengaku telah siap menghadapi konsekuensi atas tindakan mereka, termasuk isolasi dan sanksi dari berbagai negara. Schraner Burgener yang telah berbicara dengan deputi ketua militer Myanmar, Soe Win, mengungkapkan bahwa ia telah memperingatkan konsekuensi-konsekuensi tersebut, namun Soe Win mengaku pihaknya siap menerimanya.
Para pengunjuk rasa pro demokrasi melarikan diri dari tembakan gas air mata dari kepolisian Myanmar pada Rabu, 3 Maret 2021. (Foto: CNN.com)
"Kami terbiasa dengan sanksi, dan kami telah bertahan [dari sanksi]," jawab Soe Win merespon peringatan Schraner Burgener.
Unjuk rasa di Myanmar telah terjadi dalam beberapa pekan terakhir, di mana rakyat Myanmar menuntut pihak militer membebaskan tokoh-tokoh pemerintahan yang terpilih lewat demokrasi pada akhir tahun lalu, termasuk Aung San Suu Kyi.
Dalam satu kejadian, anggota-anggota pasukan keamanan dari militer Myanmar tertangkap kamera menghajar tiga petugas layanan gawat darurat dengan popor senapan, tongkat, dan menendang kepala mereka menurut grup aktivis AAPP (Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik), yang merilis video itu pada Rabu kemarin. Tempat kejadian disebutkan terjadi di North Okkalapa, Yangon. Dalam video itu, sekelompok petugas kepolisian yang menenteng perisai serta beberapa anggota militer disebut juga ikut serta menghajar ketiga petugas gawat darurat yang bekerja secara sukarela itu.
"Militer Myanmar menganggap unjuk rasa di Yangon sebagai zona perang. Mereka menciptakan teror lagi," kata AAPP.
(Stefanus/IDWS)