Kisah Tragis 18 ABK Indonesia di Kapal Ikan China: Kerja Seperti Budak, Jika Meninggal Dibuang ke Laut
IDWS, Kamis, 7 Mei 2020 - Stasiun televisi Korea Selatan MBC mempublikasikan sebuah video kontroversial yang kemudian diulas oleh YouTuber Jang Hansol di kanal Korea Reomil pada Rabu (6/5/2020) waktu setempat.
Video itu sendiri bertajuk "Eksklusif, 18 jam sehari kerja, jika jatuh sakit dan meninggal dilempar ke laut" dan menyebutkan perlakuan tidak manusiawi yang diterima 18 anak buah kapal (ABK) asal Indonesia — tiga di antaranya telah meninggal di atas kapal karena sakit dan jenazahnya dibuang ke laut.
"Video yang akan kita lihat ini adalah kenyataan pelanggaran HAM terhadap orang Indonesia yang bekerja di kapal China," terang Hansol menirukan penyiar berita MBC. Stasiun televisi Korsel itu sendiri mengaku mendapat rekaman kontroversi tersebut saat kapal bersangkutan berlabuh di Pelabuhan Busan.
Berdasarkan terjemahan yang disampaikan oleh Hansol, orang-orang Indonesia itu meminta bantuan kepada pemerintah Korea Selatan dan media setempat.
Pada awalnya, pihak televisi tidak bisa memercayai video rekaman tertanggal 30 Maret tersebut. Apalagi ketika hendak dilakukan pemeriksaan, kapal bernama Long Xin 605 itu sudah kembali berlayar. Dalam terjemahan yang dipaparkan Hansol, pihak televisi menyatakan dibutuhkan adanya penyelidikan internasional untuk memastikan kabar itu.
Video yang dilaporkan diambil di bagian barat Samudera Pasifik itu menunjukkan detik-detik dibuangnya jenazah seorang ABK Indonesia ke laut lepas.
Nampak seorang kru kapal yang terlihat seperti orang China tengah mengguncang dupa dan menyipratkan alkohol ke sebuah peti yang dibalut kain merah sebagai bentuk upacara pemakaman di sana. "Apa kalian [ada yang ingin disampaikan[ lagi? Tidak? Tidak?" tanya seorang kru kepada orang yang berada di bagian atas kapal.
Setelah melakukan "upacara" tersebut, kru itu lalu mengangkat peti terbungkus kain merah itu dan membuangnya ke tengah laut.
Menurut dua ABK Indonesia yang dirahasiakan identitasnya, jenazah tersebut adalah Ari, seorang warga negara Indonesia (WNI) berusia 24 tahun. Setelah bekerja dalam kapal penangkap ikan Long Xin 65 selama setahun, Ari meninggal di atas kapal.
Sebelum Ari, dua ABK WNI telah mengalami perlakuan serupa, yakni Alphata (19) dan Sepri (24) di mana jenazah keduanya juga dibuang ke laut lepas. Padahal menurut surat pernyataan yang diteken pihak kapal dan ABK, kapal harus berlabuh untuk menyerahkan jenazah awak yang meninggal di atas kapal — baik secara utuh maupun telah dikremasi.
Menurut awak-awak WNI lainnya, kondisi kapal sangat buruk sehingga menyebabkan sejumlah rekan mereka meninggal karena sakit.
"Mulanya teman saya merasa kakinya kebas, lalu perlahan kakinya bengkak. Saya mengalami bengkak sampai badan dan sempat susah bernapas," kata WNI lainnya.
Tak mau berlabuh karena juga memburu ikan hiu
Selain itu, para ABK WNI itu mengeluh mereka terpaksa harus meminum air laut yang disaring. Alhasil, sebagian jatuh sakit. Sementara para awak dari China mendapat jatah air mineral dalam botol yang dibawah dari darat.
Tangkapan layar dari video yang dipublikasikan media Korea Selatan MBC memperlihatkan, seorang awak kapal tengah menggoyang sesuatu seperti dupa di depan kotak yang sudah dibungkus kain berwarna oranye. Disebutkan pula bahwa di dalam kotak tersebut merupakan jenazah ABK asal Indonesia yang dibuang ke tengah laut oleh kapal asal China.
"Saya tidak bisa minum air laut yang disuling. Saya pusing. Tidak lama kemudian tenggorokan saya mengeluarkan dahak," ujar WNI tersebut.
Pemilik kapal juga memaksa mereka bekerja melebihi waktu yang ditentukan.
"Terkadang saya harus berdiri selama 30 jam berturut-turut, dan baru bisa duduk istirahat ketika makanan datang setiap enam jam sekali," ujar WNI tersebut.
Belum lagi bayaran yang mereka terima tidak sesuai dengan kontrak. Yakni hanya sekitar US$120 (sekitar Rp1,8 juta) per bulan.
Menurut pengakuan WNI yang bekerja di sana, kapal tersebut seharusnya menangkap tuna. Namun dalam beberapa kesempatan, disebutkan mereka bisa menangkap hiu, di mana hewan itu akan ditangkap menggunakan tongkat panjang. Setelah itu, mereka akan memotongnya di mana sirip hiu dan bagian tubuh lainnya akan disimpan di dalam kapal secara terpisah.
Aktivis lingkungan Korea Selatan Lee Yong-ki mengatakan, kabarnya bisa lebih dari 20 ekor hiu yang ditangkap setiap hari.
Dia menuturkan ada kabar bahwa terdapat 16 kotak sirip hiu. Jika satu kotak beratnya 45 kilogram, maka ada sekitar 800 kilogram. Dalam laporan itu, disebutkan kelompok pemerhati lingkungan hidup yakin, kapal tersebut khawatir jika aktivitas ilegal mereka ketahuan.
Karena itu, jika terjadi kematian di antara ABK, mereka akan terus melanjutkan operasi mereka tanpa harus bersandar di pelabuhan. Menurut Lee, dia menduga karena terlalu banyak sirip hiu, maka kapal tersebut tidak bisa berlama-lama berada di suatu tempat.
Sebab, jika sampai diperika oleh biro pelabuhan atau bea cukai, mereka akan mendapat sanksi berat karena kegiatan mereka. Pada pekerja yang merasa tidak puas dilaporkan pindah ke kapal lain dan tiba di Pelabuhan Busan pada 14 April, namun harus menunggu selama 10 hari.
Kelompok HAM yang menyelidiki kematian empat orang di kapal kemudian melaporkannya kepada Garda Penjaga Pantai Korea Selatan (KCG), untuk segera menginvestigasinya.
Seoul dilaporkan bisa melakukan investigasi karena pada 2015, mereka meratifikasi perjanjian internasional untuk mencegah perdagangan manusia. Termasuk di dalamnya kerja paksa dan eksploitasi seksual.
Namun dua hari setelah peristiwa itu, kapal tersebut langsung meninggalkan lokasi sehingga investigasi tak bisa dilanjutkan.
Untungnya, demikian terjemahan yang dipaparkan Hansol, masih ada pelaut yang berada di Busan, di mana mereka ingin melaporkan pelanggaran HAM yang mereka terima. Kru tersebut dilaporkan sudah meminta pemerintah Korea Selain untuk menggelar penyelidikan menyeluruh, di mana mereka mengaku ingin memberi tahu dunia tentang apa yang mereka alami.
15 ABK WNI telah diamankan dan dikarantina
Kapal tersebut baru boleh merapat ke pelabuhan Busan, Korea Selatan pada 23 April lalu. Seorang ABK lantas dilarikan ke rumah sakit akibat mengalami sakit pada dada, tetapi meninggal pada 27 April.
Saat itulah sejumlah ABK WNI mengadu ke aparat setempat mengenai kondisi di kapal tersebut.
Menurut advokat publik Korsel, Kim Jong-cheol, pemerintah setempat seharusnya mengusut kejadian tersebut karena mereka sudah menandatangani aturan internasional untuk mencegah perdagangan orang, kerja paksa dan eksploitasi seksual.
Akan tetapi, pada 29 April kapal tersebut bertolak dari pelabuhan. Aparat setempat menyatakan sudah tidak bisa mengusut karena sudah di luar wilayah hukum mereka.
Duta Besar RI untuk Korea Selatan, Umar Hadi, mengatakan tetap memantau kondisi para ABK WNI tersebut.
"Kita tetap mendampingi. Ada 15 WNI yang turun di Busan dan minta bantuan lembaga penegak hukum di Korea Selatan," kata Duta Besar RI di Seoul, Umar Hadi, kepada CNNIndonesia.com.
Umar mengatakan KBRI Seoul dan KBRI Beijing sudah berkoordinasi untuk meminta pertanggungjawaban dari perusahaan yang mempekerjakan para WNI tersebut, termasuk perusahaan di Indonesia yang menjadi agen perekrutan.
"Semuanya sudah terdata, perusahaannya, pemiliknya sampai agen yang merekrut mereka, semua kita desak untuk bertanggung jawab," kata Umar.
Menurut Umar, 15 ABK WNI tersebut saat ini tengah menjalani karantina untuk menghindari penularan wabah virus corona. Dia mengatakan setiap hari terus memantau kondisi para ABK WNI tersebut, dan berharap persoalan itu segera diselesaikan.
Selain itu, lanjut Umar, mereka akan membantu pemulangan para WNI itu setelah selesai masa karantina. Terkait proses hukum, dia mengatakan para WNI itu meminta bantuan kepada advokat pro bono Korsel untuk menjadi kuasa hukum mereka.
"Kasus ini akan ditangani oleh lembaga investigasi di Korsel," ujar Umar.
Sumber: MBC, CNNIndonesia.com, YouTube/Korea Reomit