Umat Muslim India Hadapi Stigma Negatif dan Disalahkan Atas Peningkatan Infeksi COVID-19 di India
IDWS, Sabtu, 25 April 2020 - Pemerintah India menyalahkan pertemuan kongregasi Tablighi Jamaat atas meningkatkan kasus-kasus infeksi virus corona baru (COVID-19), memicu gelombang kekerasan, boikot bisnis, serta hate speech terhadap kaum Muslim di India. Para ahli politik dan sosial dari penjuru dunia mengkhawatirkan fenomena tersebut makin memperparah pandemi COVID-19 di negara dengan populasi terbesar kedua di dunia tersebut.
Stigma negatif yang dihadapi kaum Muslim India, terutama kalangan menengah ke bawah yang kesulitan memperoleh akses kesehatan dibandingkan kaum agama lainnya membuat kerja tenaga medis semakin sulit, menurut pendapat para veteran di bidang pandemi.
Seorang imam Muslim tengah meminta warga setempat agar tetap berada di dalam rumah untuk mencegah penyebaran virus corona di New Delhi, India, pada 25 Maret 2020. (Foto: AP Photo/Manish Swarup, File)
India mengalami setidaknya 24.500 kasus positif virus corona, di mana setidaknya seperlima darinya dikaitkan dengan Tablighi Jamaat tersebut. Selain itu India juga mengalami 775 kematian akibat virus corona.
"Komunitas [Muslim[ tersebut tidak hanya beresiko tinggi terinfeksi [COVID-19], tapi mereka juga beresiko tinggi menyebarkan virus," kata Dr. Anant Bhan, seorang bioetika dan ahli kesehatan global, seperti dikutip dari AP. "Dan [fenomena] itu akan menjadi sebuah siklus yang terus berlanjut," tambahnya.
Kurang lebih 8.000 orang berkumpul dalam acara Tablighi Jamaat selama tiga hari di bulan Maret lalu di sebuah kamp yang terletak di area padat Nizamuddin, New Delhi, tak lama sebelum pemerintah India memberlakukan larangan akan acara gathering besar.
Melansir laporan AP, Mujeeb ur Rehman — juru bicara dari komunitas muslim yang menggelar Tablighi Jamaat tersebut mengatakan bahwa kamp mereka masih terus buka setelah larangan tersebut diberlakukan untuk menampung orang-orang yang tak tahu harus berteduh di mana selama masa 21 hari lockdown di India yang diperintahkan Perdana Menteri India, Narendra Modi pada 24 Maret.
Pada hari kedua lockdown, penggerebekan yang dilakukan pemerintah di kamp tersebut menemukan kluster virus corona terbesar di India. Polisi lalu mempidanakan beberapa petinggi dari komunitas Muslim tersebut karena dianggap melanggar larangan gathering besar — tuduhan yang ditampik oleh komunitas tersebut.
Tenaga medis India mendata para umat Muslim yang termasuk kluster Nizamuddin di New Delhi, India, 31 Maret 2020. (Foto: AP Photo/Manish Swarup, File)
Pemerintah India kemudian mengumumkan pada Selasa (31/3/2020) bahwa mereka telah menahan 29 orang termasuk 16 warga negara asing (WNA) yang berpartisipasi dalam Tablighi Jamaat tersebut.
Parahnya, para politikus dari partai berkuasa di India — Partai Bharatiya Janata, angkat suara di TV dan koran di mana mereka mendeskripsikan insiden Tablighi Jamaat tersebut sebagai "terorisme corona".
Berita-berita palsu yang menyerang kaum muslim di India pun mulai bermunculan, seperti salah satunya adalah sebuah potongan video yang menunjukkan peserta Jamaat meludahi pihak otoritas. Tak lama berselang video itu terbukti palsu. Akan tetapi pada 1 April lalu, tagar #CoronaJihad menjadi trending di Twitter India.
Tragedi dan krisis kemanusiaan
Panik, saling menyalahkan, dan stigma negatif menyebar dengan cepat ke penjuru India, terutama setelah tragedi bunuh diri seorang pedagang daging ayam bernama Dilshad Mohammad (37). Ia dikucilkan dan difitnah oleh tetangga-tetangganya sendiri di desa Bangarh hanya karena memberi tumpangan kepada dua peserta Tablighi Jamaat menggunakan skuternya.
Para tetangga menuduh Dilshad sengaja menyebarkan virus corona ke desa mereka. Ibunda Dilshad, Usha, mengaku bahwa putranya itu menangis setelah kembali dari karantina dan mengaku kepada ibunya bahwa ada konspirasi tetangga yang memojokkan dirinya.
Ia kemudian berubah drastis menjadi murung serta menutup diri. Puncaknya, Dilshad memilih mengakhiri nyawanya sendiri dengan mengiris kedua pergelangan tangannya lalu gantung diri di kamarnya pada 5 April 2020 lalu.
Dilshad Muhammad, pria 37 tahun yang nekad bunuh diri setelah dikucilkan serta memperoleh stigma negatif dari tetangg-tetangganya sendiri karena membonceng dua peserta Tablighi Jamaat. (Foto: The Quint)
pengawas kepolisian distrik Himachal Pradesh, Karthikeyan Gokulachandran menyalahkan stigma negatif para tetangga mengakibatkan kematian Dilshad.
Di negara bagian Rajsthan, seorang wanita muslim yang tengah hamil tua ditolak di rumah sakit publik karena agamanya. Akibatnya jabang bayinya yang berusia 7 bulan meninggal, menurut Menteri Pariwisata negara bagian tersebut — Vishvendra Singh.
Masih banyak lagi kasus-kasus stigma negatif serta pengucilan terhamat umat muslim di India pasca insiden Tablighi Jamaat, memicu peningkatan angka kematian akibat COVID-19 di negara dengan mayoritas agama Hindu tersebut.
"[Stigma negatif dan pengucilan] Itu sebenarnya menyebabkan peningkatan morbiditas (mudah jatuh sakit) serta tingkat kematian. Karena stigma negatif yang terjadi, banyak pasien COVID-19 atau mengidap gejala seperti flu tidak berani membuka diri," kata Dr Randeep Guleria, kepala dari All India Institute of Medical Sciences d New Delhi.
Populasi umat Muslim di India yang berjumlah kurang lebih 200 juta orang hanya berkisar 14 persen dari total populasi India sekaligus merupakan umat minoritas terbesar di sana sekaligus termiskin, dengan pendapatan rata-rata hanya 32.6 rupee (sekitar Rp 6.600) per hari menurut survei pemerintah pada 2013 silam.
(Stefanus/IDWS)
Sumber: AP