Ekuador Terdampak COVID-19 Terparah di Amerika Latin, Hingga Munculnya Kota Mayat
IDWS, Minggu, 19 April 2020 - Pandemi virus corona (COVID-19) membawa perubahan besar di tahun 2020. Salah satu negara yang mengalami dampak terparah akibat virus yang pertama kali muncul di China itu adalah Ekuador. Bahkan, ada kota di negara Amerika Latin itu yang menjadi seperti kota mayat.
Guayas merupakan negara bagian di Ekuador paling terdampak akan pandemi COVID-19. Angka resmi terkait jumlah korban akibat pandemi tersebut terbilang sangat mencengangkan. Setidaknya 6.700 orang meninggal pada dua minggu pertama di bulan April — rekor kematian tertinggi tak hanya di Ekuador, namun di seluruh Amerika Latin.
Jenazah yang dibiarkan tergeletan di pinggir jalan di Guayaquil, Ekuador. (GETTY IMAGES)
Dari jumlah tersebut, tidak semua murni disebabkan karena COVID-19 saja, akan tetapi layanan kesehatan setempat yang lumpuh karena pandemi corona berandil besar dalam banyaknya korban berjatuhan di Guayas begitu COVID-19 datang.
Sebagian orang meninggal karena gagal jantung, masalah ginjal, atau masalah kesehatan lain yang memperburuk kondisi karena tidak segera ditangani.
Kota Mayat Guayaquil
Melansir BBC News Indonesia, Katty Mejia, seorang pekerja di rumah duka di Guayaquil - ibukota dari negara bagian Guayas sekaligus kota terbesar di Ekuador, menuturkan pengalamannya di tengah pandemi COVID-19.
"Kami sudah melihat orang meninggal di mobil, di ambulans, di rumahnya, di jalanan," kata Katty Mejia. "Salah satu alasan mereka tidak dirawat di rumah sakit karena alasan kekurangan tempat tidur. Jika mereka ke klinik swasta, mereka harus membayar dan tidak semua orang punya uang," tambahnya.
Satu jenazah tampak ditutupi ditutupi kain biru di Guayaquil, Ekuador. (Foto: REUTERS)
Dalam masa pandemi di kota dengan populasi 2,5 juta penduduk itu, rumah duka kewalahan - sebagian harus tutup sementara karena pekerjanya ketakutan terjangkit virus corona.
Kerabat yang putus asa membiarkan mayat tergeletak di depan rumah, sementara sebagian lain membiarkannya di tempat tidur hingga berhari-hari.
Kota Guayaquil juga mulai kehabisan ruang untuk menguburkan mayat, memaksa sebagian orang untuk membawa jenazah kerabat ke kota tetangga untuk dimakamkan di sana.
Kebutuhan untuk menguburkan jenazah sangat tinggi hingga sebagian warga menggunakan kotak karton sebagai peti mayat. Narapidana juga membuat peti mati dari kayu.
Kegagalan negara
Hingga 16 April 2020, pemerintah Ekuador masih yakin bahwa hanya 400 orang saja yang meninggal akibat COVID-19. Akan tetapi pengumpulan data dari Satuan Tugas Gabungan Virus Corona Ekuador mengubah gambaran besar korban akibat virus tersebut.
Angka kematian di Guayas melonjak hingga lima kali lipat dalam 15 hari. (Foto: REUTERS)
"Dengan angka yang kita dapat dari Kementerian Dalam Negeri, tempat pemakaman umum, kantor pencatatan sipil dan tim kami, kami sudah menghitung setidaknya 6.703 kematian di Guayas di 15 hari pertama pada April," kata Jorge Wated, kepala Satgas pemerintah seperti dikutip dari BBC News Indonesia.
"Rata-rata mingguan di sini mencapai 2.000. Jadi, kami sudah merekam 5.700 kematian dari biasanya," tambah Jorge Wated.
Presiden Ekuador, Lenin Moreno, mengakui negara telah gagal mengatasi krisis kesehatan.
Dampak sekunder
Perkembangan ini menimbulkan pertanyaan di penjuru kawasan - akankah pandemi menimbulkan dampak sekunder yang sama di negara-negara Amerika Latin lainnya atau di kawasan lain di dunia dengan sistem kesehatan yang lemah?
Di Wuhan, China, angka resmi tengah direvisi dan hasilnya bisa jadi mengejutkan. Di Spanyol, negara Eropa paling terdampak, ada perbedaan dari cara data dikumpulkan dan dibuka di level lokal dan nasional.
"Kesehatan masyarakat di Ekuador selalu bermasalah. Ini merupakan salah satu titik lemah di hampir semua periode pemerintahan," kata Dr Carlos Mawyin kepada BBC.
Ia menduga krisis COVID-19 merupakan badai yang sempurna di Ekuador.
"Dengan sistem kesehatan yang lemah dan jumlah pasien yang tinggi, ICU dengan cepat menjadi lumpuh," katanya.
Ekuador telah memperpanjang jam malam dan berjanji akan mengetes makin banyak pasien.
Tapi bagi warga di Guayaquil yang pernah melihat orang terkasih meninggal dunia, janji itu sudah terlambat.
Sumber: BBC News Indonesia