Nokubonga Qampi namanya. Julukan "Lion Mama" alias "Mama Singa" disematkan kepadanya berkat keberanian dan kenekatannya dalam melindungi putrinya.
IDWS, Selasa, 2 April 2019 - Pada suatu malam, Nokubonga terbangun dari tidurnya karena deringan telepon memecah keheningan malam. Setelah mengangkat telepon tersebut, Nokubonga mendengar seorang perempuan mengatakan bahwa Siphokazi, putri Nokubonga, telah diperkosa oleh tiga pria yang mereka kenal dengan baik.
Nokubonga langsung menghubungi polisi, sayang tidak ada tanggapan. Sekalipun ada, polisi butuh waktu untuk mencapai desanya di kawasan pegunungan Provinsi Eastern Cape, Afrika Selatan. Nokubonga paham betul akan hal itu, sehingga pada akhirnya memutuskan untuk mengandalkan dirinya sendiri.
Nokubonga Qampi si "Lion Mama". (Foto: BBC)
"Saya takut, namun saya terpaksa pergi karena itu putri saya. Saya berpikir bahwa ketika saya sampai di sana, dia mungkin sudah meninggal...Karena dia mengenal para pelakunya dan mereka mengenalnya, mereka mungkin berpikir untuk membunuhnya supaya tidak melapor."
Sebelum pemerkosaan terjadi, Siphokazi mengunjungi teman-temannya di empat rumah kecil di desa yang sama. Namun ia ditinggalkan sendirian dalam keadaan tertidur ketika teman-temannya keluar pukul 01:30 dini hari waktu setempat.
Tiga pria yang tengah minum-minum di salah satu rumah kemudian menyerangnya.Nokubonga lalu mengambil sebilah pisau dari dapur di gubuknya sebelum kemudian menghampiri lokasi putrinya diperkosa.
"Saya mengambil pisau karena perjalanan dari sini ke tempat lokasi kejadian tidak aman. Saat itu gelap dan saya harus menggunakan senter pada ponsel saya untuk menerangi jalan."
Nokubonga dapat mendengar jeritan putrinya ketika dia semakin dekat dengan lokasi tersebut. Begitu memasuki kamar tidur, pancaran sinar dari ponsel membuatnya menyaksikan pemandangan yang tak ingin dilihat ibu mana pun, yakni putrinya tengah diperkosa.
"Saya takut...Saya duduk di lantai dan bertanya apa yang mereka lakukan. Begitu mereka mengenali saya, mereka datang menyerang. Di situlah saya berpikir bahwa saya perlu membela diri, reaksi otomatis," ungkap Nokubonga. Ia menolak menceritakan apa yang terjadi selanjutnya.
Hakim di pengadilan untuk kasus tersebut mengatakan kesaksian Nokubonga menunjukkan wanita itu "menjadi sangat emosional" begitu melihat salah satu pria memperkosa putrinya, sedangkan dua pria lainnya berdiri dalam keadaan celana turun hingga ke pergelangan kaki. Hakim Mbulelo Jolwana menambahkan, "Saya bisa memahami bahwa dia [Nokubonga] diliputi amarah."
Saat harus menceritakan kembali kejadian tersebut, Nokubonga mengaku dirinya takut atas keselamatan putrinya. Wajahnya dipenuhi rasa sakit mendalam dan kesedihan.
Persidangan pun mengungkap dengan jelas bahwa pria-pria itu menyerang Nokubonga sehingga ia terpaksa menyerang balik menggunakan pisau. Ia menikam mereka selagi mereka mencoba kabur, bahkan salah satunya melompat keluar jendela. Dua di antara pria itu luka parah dan satu orang tewas.
Nokubonga tidak peduli seberapa parah luka pria-pria itu. Ia langsung membawa putrinya ke rumah seorang teman di dekat lokasi. Ketika polisi datang, Nokubonga ditahan lalu dibawah ke kantor polisi di mana ia ditempatkan di sel tahanan. "Saya memikirkan anak saya. Saya tidak punya informasi [tentang putri saya]. Pengalaman waktu itu membuat trauma."
Nokubonga (kanan) dan putrinya, Siphokazi pada Januari 2019 atau 16 bulan setelah kejadian perkosaan menimpa. Siphokazi memutuskan melepas status anonimnya untuk memberi dorongan semangat kepada para korban perkosaan lainnya. (Foto: BBC)
Di saat yang sama, Siphokazi yang tengah dirawat di rumah sakit mengkhawatirkan ibunya mendekam di sel tahanan dan takut apabila sang ibu akan dipenjara seumur hidup.
"Saya harap jika dia (Nokubonga) dipenjara seumur hidup, saya yang akan menggantikannya," aku Siphokazi.
Dalam keadaan masih terguncang, Siphokazi tidak mengingat penyerangan tersebut. Yang Siphokazi ketahui saat ini adalah cerita yang dikisahkan ibunya saat dia datang berkunjung ke rumah sakit dua hari kemudian setelah dibebaskan dengan jaminan.
Sejak saat itu mereka selalu memberi sokongan emosional satu sama lain.
"Saya tidak menerima konseling, tapi ibu saya bisa mendampingi saya. Saya sedang pulih," kata Siphokazi.
Upaya Nokubonga kini berfokus dalam memastikan kehidupan terus berlanjut seperti sediakala.
"Saya masih ibunya dan dia masih putri saya," ujarnya.
Mereka kini bisa berkelakar seperti, misalnya, Siphokazi tidak bisa menikah karena Nokubonga tidak punya siapa-siapa lagi untuk diurusi.
Sudah 18 bulan berlalu sejak serangan terjadi dan mereka telah menempuh perjalanan yang panjang.
Buhle Tonise, pengacara yang menjadi kuasa hukum Nokubonga, mengenang ketika ibu dan anak tampak menyerah ketika dia pertama kali bertemu para pelaku, sepekan setelah serangan.
"Sang ibu sangat cemas," ujar Buhle.
"Ketika Anda bertemu dengan orang yang sedemikian miskinnya, Anda akan tahu bahwa mereka merasa sang ibu akan dipenjara karena dia tidak punya siapapun yang membela. Sistem keadilan hanya bagi mereka yang punya uang."
Selagi Buhle berbincang dengan Nokubonga, Siphokazi menatapnya tanpa suara, seolah serangan yang terjadi telah merampas kekuatannya untuk bicara.
Meskipun Buhle yakin Nokubonga dapat berargumen secara meyakinkan bahwa dirinya bertindak membela diri, Buhle khawatir perlu perjuangan untuk mengatasi pesimisme Nokubonga.
Yang mereka tidak sadari adalah bantuan dari media, yang menciptakan legenda Lion Mama.
Di Afsel, kejadian perkosaan jarang mendapat perhatian luas media. Ini disebabkan jumlah pemerkosaan di negara itu begitu banyak, sekitar 110 kejadian per hari—situasi yang disebut Presiden Cyril Ramaphosa sebagai krisis nasional.
Provinsi Eastern—provinsi termiskin di Afsel dengan tingkat pengangguran lebih dari 45%--mengalami kejadian pemerkosaan terbanyak per kapita populasi daripada provinsi lainnya.
Di Lady Frere—desa tempat Nokubonga dan Siphokazi bermukim—ada 75 kejadian pemerkosaan yang tercatat sepanjang 2017/2018. Jumlah ini luar biasa tinggi mengingat populasi desa itu kurang dari 5.000 orang.
Akan tetapi, di antara sedemikian banyak insiden pemerkosaa di Afrika Selatan, kisah Nokubonga dan Siphokazi mendapat perhatian luas.
Media di Afsel dengan cepat memberitakan kisah seorang ibu yang melindungi putrinya. Karena nama Nokubonga ketika itu tidak bisa disebutkan, demi melindungi identitas putrinya, sebuah surat kabar memberinya julukan 'Lion Mama'. Artikel mereka ditempatkan di sebelah foto seekor singa dan anaknya. Nama itu kemudian melekat.
"Bagi saya, pertama kalinya, saya tidak suka karena saya tidak paham. Namun makin ke sini saya paham itu artinya saya pahlawan karena singa akan melindungi anak-anaknya."
Khalayak merespons kejadian itu dengan mengkritik putusan pengadilan untuk mendakwa Nokubonga dengan pembunuhan. Publik kemudian menggalang dana agar Nokubonga mendapat pendampingan hukum.
Sokongan ini mengangkat semangat Nokubonga. Namun, luasnya dukungan publik tidak disadarinya sampai ketika dirinya tampil di pengadilan negeri, sebulan setelah serangan.
"Saya takut pergi ke pengadilan. Saya bangun dan berdoa," ujarnya.
Ketika sampai di pengadilan, dia menyaksikan tempat itu penuh dengan orang yang memberinya dukungan.
Siphokazi, putri Nokubonga. (Foto: BBC)
"Ada banyak orang dari berbagai penjuru Afrika Selatan. Yang saya katakan ke mereka adalah terima kasih karena pengadilan penuh hadirin artinya mereka mendukung saya. Mereka benar-benar memberi saya harapan."
Nokubonga kemudian dipanggil oleh hakim.
"Saya diberitahu dakwaan telah dicabut. Saya hanya berdiri di sana, namun saya gembira. Pada saat itu saya tahu sistem keadilan mampu memisahkan mana yang benar dan mana yang salah. Mereka bisa mengetahui saya tidak berniat mengambil nyawa seseorang."
Buhle Tonise mengenang dampak putusan hakim terhadap Siphokazi.
"Setelah kasus itu dicabut, dia menghubungi putrinya. Untuk pertama kali saya mendengar putrinya tertawa. Saya pikir itulah saatnya (Siphokazi) mengatakan dia juga ingin para pria itu dipenjara."
Mereka harus menunggu lebih dari setahun agar hal itu bisa terjadi. Pada 30 Desember 2018, dua penyerang tersisa, Xolisa Siyeka (30) dan Mncedisi Vuba (25)—anggota klan yang sama dengan Nokubonga dan Siphokazi—divonis hukuman 30 tahun penjara.
"Saya amat senang. Saya merasa sedikit aman, namun sebagian dari diri saya merasa mereka pantas dihukum penjara seumur hidup."
Setelah kasus ini rampung, Siphokazi memutuskan untuk melepas status anonimnya untuk memberi dorongan semangat kepada para penyintas pemerkosaan lainnya.
"Saya ingin mengatakan bahwa setelah serangan semacam itu, masih ada kehidupan. Anda masih bisa kembali ke masyarakat. Anda masih bisa menjalani kehidupan," ujarnya.
Alih-alih seperti seeekor singa betina yang digambarkan media, Nokubonga tidak menunjukkan amarah yang dahsyat.
Dia bahkan berharap para pemerkosa putrinya bisa mencapai sesuatu yang positif di masa depan.
"Saya berharap ketika mereka selesai menjalani hukuman, mereka bisa kembali sebagai orang yang bertobat atau berubah untuk menceritakan kisah mereka dan menjadi contoh hidup."
(Stefanus/IDWS)
Sumber: BBC