Kominfo Cabut Label 'Hoaks' Tentang Bahaya BPA di Air Minum Dalam Kemasan, Ternyata Bukan Hoaks!
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merilis klarifikasi resmi terkait pencabutan label “Disinformasi” terhadap berita mengenai bahaya kandungan zat kimia Bisfenol A (BPA) pada kemasan plastik keras (polikarbonat) air minum dalam kemasan (AMDK).
IDWS, Rabu, 20 Juli 2022 - Sejak 3 Januari 2021, Kominfo di situs webnya mengkategorikan berita tentang bahaya BPA pada galon isi ulang sebagai “Disinformasi” alias hoaks. Pencabutan label “Disinformasi” kini telah dilakukan atas permohonan penurunan konten dari Direktur Siber Obat dan Makanan kepada Direktur Pengendalian Informatika pada 8 Juni 2022.
Mengutip laporan Tribunnews.com, tertulis di situs resmi Kominfo, “Saat ini kami cabut label disinformasi tersebut berdasarkan surat permohonan dan penjelasan terbaru dari Direktur Siber Obat dan Makanan kepada Direktur Pengendalian Informatika melalui surat Nomor BPD.04.01.63.631.06.22.246 tanggal 8 Juni 2022 perihal Penjelasan Disinformasi Kandungan Zat BPA pada Galon isi Ulang Berbahaya dan Permohonan Penurunan Konten, juga berdasarkan siaran pers Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berjudul ‘Sarasehan Upaya Perlindungan Kesehatan Masyarakat Melalui Regulasi Pelabelan Bisfenol A (BPA) pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK)’.”
FMCG Insights, organisasi yang bergerak mengawasi mutu, keamanan, dan kesehatan produk makanan dan minuman dalam kemasan, menyambut baik langkah Kominfo dalam mencabut label disinformasi atau hoaks tersebut.
Menurut FMCG Insights, selama ini label “Disinformasi” tersebut terus digunakan oleh pihak-pihak tertentu yang mencoba menolak kebijakan BPOM tentang pengaturan pelabelan BPA terhadap produk AMDK.
Berita terkait bahaya BPA pada galon AMDK yang sebelumnya dilabeli sebagai hoaks oleh Kominfo. (Tribunnews.com/dok. Kominfo)
“Mereka sampai pada tingkat menghakimi siapa saja yang membicarakan potensi bahaya BPA pada galon isi ulang sebagai penyebar hoaks, padahal wacana BPA adalah diskursus ilmiah, baik pada tataran akademis maupun publik,” kata Koordinator Advokasi FMCG Insights, Willy Hanafi, di Jakarta, Rabu (20/07/2022) seperti dikutip dari Tribunnews.com.
Selanjutnya, Willy berharap dengan pencabutan label “Disinformasi” oleh Kominfo, publik sebagai konsumenAMDK dapat memperoleh hak mereka untuk mendapatkan informasi yang objektif tentang bahaya BPA tanpa harus ditakut-takuti dengan label “Disinformasi” apalagi “Hoaks”.
“Semoga dengan pencabutan ini, ruang diskusi publik terkait potensi bahaya BPA menjadi sehat dan objektif,” pungkas Willy.
Sementara itu, pencabutan status hoaks terkait BPA di website Kominfo ditanggapi singkat oleh epidemiolog Universitas Indonesia, Dr. Pandu Riono, MPH., Ph.D. “Yang terpenting labelisasi BPA harus jalan,” tegasnya.
Ilustrasi galon isi ulang. (detikcom/shutterstock)
Aturan pelabelan BPA pada galon AMDK: lindungi konsumen dan pelaku usaha
Pemberian label “Disinformasi” terhadap bahaya BPA yang sebelumnya dilakukan oleh Kominfo bertentangan dengan klaim BPOM, sebagai lembaga yang berwenang menilai mutu, keamanan, dan kesehatan pangan yang telah menyatakan kekhawatiran terhadap tingkat paparan BPA pada AMDK galon plastik keras.
BPA sendiri merupakan zat kimia yang menjadi bahan baku (prekursor) plastik keras (polikarbonat). Jenis plastik ini umumnya digunakan sebagai material bangunan, seperti atap garasi dan pagar. Pada kondisi tertentu, BPA dapat bermigrasi dari kemasan plastik keras ke dalam pangan yang dikemasnya.
Berbagai penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa BPA berdampak negatif terhadap kesehatan melalui mekanisme gangguan hormon, khususnya hormon estrogen. Alhasil, BPA berkorelasi dengan gangguan sistem reproduksi, baik pada pria maupun wanita, diabetes, obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal, kanker, perkembangan kesehatan mental, autisme, dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
Dalam menyikapi bahaya akibat paparan BPA, BPOM bahkan berinisiatif menyusun rancangan peraturan pelabelan BPA pada AMDK galon plastik keras. Rancangan peraturan ini disusun BPOM setelah melaksanakan survei atau pengawasan terhadap AMDK galon, baik di sarana produksi maupun peredaran, selama 2021-2022.
Menurut hasil pengawasan lapangan BPOM tersebut, terdapat 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA, yakni 0,6 bpj (bagian per juta). Lalu terdapat 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi yang dikategorikan “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj.
Ditemukan pula 5 persen di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di sarana peredaran yang dikategorikan “berisiko terhadap kesehatan” karena migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj.
“Dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memberi informasi yang benar dan jujur, BPOM berinisiatif melakukan pengaturan pelabelan AMDK pada kemasan plastik dengan melakukan revisi peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan,” sebut Kepala BPOM, Penny K. Lukito, dikutip dari Tribunnews.com melansir dari rilis resmi di situs BPOM.
Selain mengawasi AMDK galon di lapangan, BPOM turut mempertimbangkan tren pengaturan BPA di luar negeri dalam penyusunan regulasinya.
Misalnya pada tahun 2018, Uni Eropa menurunkan batas migrasi BPA yang semula 0,6 bpj menjadi 0,05 bpj. Lalu beberapa negara, seperti Prancis, Brazil, serta negara bagian Vermont dan Distrik Columbia di Amerika Serikat bahkan telah melarang penggunaan BPA pada kemasan pangan, termasuk AMDK. Negara bagian California di Amerika Serikat mengatur pencantuman peringatan label bahaya BPA pada kemasan produk pangan olahan.
Namun, langkah BPOM dalam mengatur pelabelan BPA di Indonesia dilakukan secara lebih moderat. Hal ini dimaksudkan agar pelaku usaha tidak terdampak secara ekonomi. Langkah tersebut, sebut Penny, dilakukan dengan merancang peraturan pelabelan BPA yang hanya mengatur kewajiban pencantuman tulisan cara penyimpanan.
Aturan pelabelan yang digunakan contohnya adalah “Simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam” serta pencantuman label “Berpotensi mengandung BPA” pada produk AMDK yang menggunakan kemasan plastik keras (polikarbonat).
Peraturan tersebut juga mengecualikan produk-produk AMDK yang, dari hasil analisisnya, mampu membuktikan bahwa migrasi BPA-nya berada di bawah 0,01 bpj. Menurut Penny, dengan begitu rancangan peraturan pelabelan BPA sama sekali tidak melarang penggunaan kemasan galon polikarbonat, sehingga dapat dipastikan tidak ada potensi kerugian ekonomi bagi pelaku usaha.
Jika ditetapkan, regulasi ini juga hanya berlaku untuk AMDK yang mempunyai izin edar, sehingga tidak berdampak terhadap depot air minum isi ulang.
Ia mengatakan bahwa BPOM semata-mata bertujuan melindungi kesehatan masyarakat dari potensi paparan zat berbahaya dan kepentingan pelaku usaha dari tuntutan hukum di kemudian hari lewat penyusunan peraturan ini.
Dengan peraturan pelabelan BPA, BPOM pun berharap agar para pelaku usaha bisa berinovasi ke depannya, sehingga akan muncul produk-produk AMDK yang lebih aman dan bermutu. Inovasi ini nantinya pun akan menguntungkan masyarakat sebagai konsumen AMDK.